FENOMENA PENYAKIT AKIBAT GANGGUAN SIHIR DAN JIN

Secara umum berbagai penyakit  yang muncul di tengah masyarakat di Indonesia ini dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu penyakit yang muncul akibat masalah medis dan non medis. Penyakit akibat masalah  medis umumnya bisa ditelusuri secara medis , baik dari hasil pemeriksaan laboratorium maupun diagnosa dokter.  Secara fisik penyakit inipun  bisa terlihat seperti luka , bisul, kurap, bengkak, kaki atau tangan lumpuh dan lain sebagainya. Penyakit seperti ini karena jelas penyebabnya bisa dirawat dan diobati secara medis oleh dokter atau rumah sakit.

Lain halnya dengan penyakit non medis atau penyakit akibat gangguan sihir dan syetan dari golongan jin. Penyakit ini terasa kehadirannya oleh penderita. Namun ketika dibawa kedokter atau dicek pada laboratorium medis tidak ditemukan kelainan. Dokter sulit memberikan obat yang tepat karena tidak ditemukan adanya kelainan, sementara si pasien mengeluhkan rasa sakit yang amat sangat.
Masing masing penyakit diatas mempunyai cara pengobatan sendiri. Penyakit non medis tidak bisa disembuhkan dengan cara medis demikian pula sebaliknya. Banyak orang yang terkena penyakit non medis ditangani secara medis tentu saja tidak kunjung sembuh, bahkan penyakitnya bertambah parah karena mendapat pengobatan yang tidak tepat. Diantaranya bahkan ada yang malah keracunan obat karena terus menerus makan obat dari dokter yang tidak tepat penggunaannya. Menghadapi penyakit non medis ini kadangkala dokter menjadi bingung untuk memberikan obat, karena secara medis tidak ditemukan kelainan.
Penyakit non medis ini sebenarnya sudah ada sejak zaman dahulu , ini adalah penyakit yang ditimbulkan oleh kejahatan syetan dari golongan Jin terhadap manusia. Mereka memang memiliki kemampuam untuk  mengganggu fungsi organ tubuh manusia dengan seizin Allah. Tanpa izin dan kehendak Allah mereka tidak bisa melakukan semua itu.
Salah seorang Nabi yang mengalami penyakit fisik akibat gangguan syetan dari golongan jin ini adalah nabi Ayyub sebagaimana dikisahkan dalam surat Shaad ayat 41

41. Dan ingatlah akan hamba Kami Ayyub ketika ia menyeru Tuhan-nya: “Sesungguhnya aku diganggu syaitan dengan kepayahan dan siksaan.” 42. (Allah berfirman): “Hantamkanlah kakimu; inilah air yang sejuk untuk mandi dan untuk minum
Syetan telah menimpakan sakit yang berkepanjangan pada diri Ayyub , seluruh tubuhnya dipenuhi penyakit kulit yang mengeluarkan bau busuk menyengat. Bertahun tahun ia menderita penyakit itu hingga orang banyakpun merasa terganggu dengan bau menyengat yang keluar dari tubuhnya itu . Nabi  Ayyubpun  terpaksa mengungsi ketengah hutan yang jauh dari keramaian. Disana ia berdoa dan memohon pada Allah, akhirnya Allah memberi pertolongan dengan memerintahkan Nabi Ayyub menghantamkan kakinya ketanah hingga memancarkan  air yang menyembur. Nabi Ayyub mandi dengan air tersebut hingga seluruh penyakit yang ada ditubuhnya lenyap. Sekarang ia menjadi seorang pemuda yang tampan dan gagah yang membuat tercengang istrinya.

Sampai sekarangpun penyakit non medis seperti yang dialami nabi Ayyub itupun masih banyak dialami orang . Belum lama ini dunia kedokteran di Indonesia dihebohkan oleh Safira yang kedapatan 26 buah paku didalam betisnya. Dokterpun heran bagaimana mungkin paku sebanyak itu bisa masuk kedalam betis Safira , sementara dikakinya tidak ada bekas juka yang memungkinan paku itu bisa masuk. Penyakit seperti itu adalah ulah dari para tukang sihir dan syetan dari golongan Jin yang bekerja sama menimbulkan penyakit pada seseorang.
Jika terkena penyakit non medis ini penyembuhannya butuh kesabaran, keuletan dan waktu yang cukup lama. Mencegah penyakit seperti ini lebih baik daripada mengobati kalau sudah kena. Orang yang beriman dan bertawakkal pada Allah sulit untuk diserang oleh penyakit ini karena Allah telah menjaminnya dalam surat An Nahl ayat 99-100. Sesungguhnya syetan tidak punya kekuatan terhadap orang yang beriman dan bertawakkal pada Allah. Syetan hanya punya kekuatan untuk mencelakai orang yang mengambilnya sebagai pemimpin dan menjadikannya sebagai sekutu Allah.
Dalam surat Fushilat ayat 36 Allah juga mengingatkan apabila kita merasakan adanya gangguan syetan dari golongan jin pada diri kita agar segera berlindung dan minta pertolongan pada Allah dari gangguan dan kejahatan syetan tersebut.
Dan jika syetan mengganggumu dengan suatu gangguan, maka mohonlah perlindungan kepada Allah. Sesungguhnya Dia-lah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui (Fushilat 36)
Shalat yang dilakukan dengan benar dan khusuk, selalu berdzikir dan bertasbih pada Allah, banyak membaca Qur’an setiap hari merupakan  benteng yang tangguh yang sulit untuk dimasuki kekuatan sihir dan syetan dari golongan Jin. Orang yang shalat secara asal asalan, jarang berdzikir dan tasbih serta jarang membaca Qur’an amat rentan terhadap serangan sihir dan syetan dari golongan jin ini. Melakukan shalat dengan benar dan khusuk, berdzikir dan tasbih serta membaca Qur’an merupakan tindakan preventif untuk mencegah datangnya gangguan dari  syetan dan kekuatanh sihir tersebut.
Berikut ini kami sampaikan beberapa kisah pengalaman orang yang mengalami penyakit non medis  akibat gangguan sihir dan syetan dari golongan Jin yang kami kutip dari berbagai sumber.
(1)        TUBUHKU BERBAU BUSUK
(Majalah Ghoib Edisi 39/2)
Empat belas abad Islam tegak di muka bumi. Sebuah rentang waktu yang panjang sehingga melahirkan pemahaman dan penafsiran baru terhadap ajaran agama. Seringkali pemahaman dan penafsiran baru tersebut tidak sejalan dengan apa yang digariskan Rasulullah SAW. karena itu, berhati-hatilah dalam menentukan pilihan di mana dan kepada siapa harus memperdalam ilmu agama agar tidak menyesal di kemudian hari. Seperti yang dialami Nurmala (nama samaran), bukan ketenangan yang ia dapatkan, tapi justru penderitaan yang tiada terperikan. Tubuhnya mengeluarkan bau busuk laksana sampah. Ia menuturkan kisahnya kepada Majalah Ghoib. Berikut petikannya.
Sebagai seorang ibu muda yang telah mengalami pahit getirnya pernikahan, saya membutuhkan pijakan dan pegangan yang kuat agar bisa tetap bertahan. Karena itu sudah sewajarnya bila saya mencari pijakan dengan semakin mendekatkan diri kepada ajaran agama. Bak gayung bersambut, niatan yang mulia itu cepat mendapat respon dari Rohadi (bukan nama sebenarnya), seorang teman dekat yang pada akhirnya menunjukkan dan mengajak saya mengikuti pengajian di kelompoknya.
Rohadi menceritakan panjang lebar tentang kehebatan gurunya yang katanya bisa melihat apa yang terjadi di alam kubur. Apakah si mayat sedang mendapat siksa kubur atau sebaliknya memperoleh kenikmatan yang tiada terkira. Bahkan, masih menurut cerita Rohadi, orang yang tadinya meninggal dalam keadaan masih memeluk Kristen pun bisa diIslamkan.
Saya yang masih awam akan ajaran agama ini, tentu dengan mudah terpengaruh dengan kisah demi kisah yang diceritakan Rohadi yang pada intinya semakin memperkuat ketokohan sang guru. Hingga tanpa pikir panjang, saya segera mengiyakan ketika Rohadi mengajak bergabung bersamanya.
Hari pertama datang ke tempat pengajian, saya langsung diberi segelas air putih yang harus diminum dengan disertai wiridan-wiridan tertentu. Dalam hati saya berpikir bahwa semua orang yang baru datang mengalami perjamuan serupa, sehingga saya pun meminumnya begitu saja. Hari berganti minggu, minggu berganti bulan dan saya masih menjadi seorang santri yang aktif mengikuti pengajian di kantor cabang. Hingga pada suatu hari, seorang guru pembimbing menawarkan untuk menanam susuk di dagu saya.
Awalnya saya menolak karena saya merasa tidak membutuhkan susuk itu. Tapi ketika guru pembimbing bersikeras untuk memasangnya, saya pun luluh juga. “Nggak apa-apa. ltu buat penjagaan biar tidak ada yang mengirim kamu yang bukan-bukan. Susuk itu sendiri akan keluar empat puluh hari sebelum kamu meninggal. Sehingga tidak akan menyulitkan kematianmu,” ujarnya panjang lebar.
Hati saya semakin terbuka, setelah saya berpikir bahwa guru pembimbing lebih paham agama daripada saya. Setelah berwudhu, saya segera dipersilahkan masuk ke dalam ruangan seluas 2×3 meter. Saya disuruh terus melantunkan syahadat dan shalawat, kemudian pada detik-detik berikutnya guru pembimbing memasukkan susuk yang terbuat dari logam ke dagu saya dengan menggunakan alat pemotong kuku.
Benda kecil itu pun masuk begitu saja ke dalam kulit saya tanpa menimbulkan rasa sakit. Semuanya biasa saja, seperti tidak ada benda apapun yang dimasukkan ke dagu saya. Waktu itu saya dipesan untuk tidak bercerita kepada siapa pun bahwa saya dipasangi susuk. Saya tidak tahu, mengapa ia melarangnya. Saya sendiri tidak begitu mempedulikannya, karena saya tidak meminta dan semua itu demi kebaikan saya, katanya.
Setelah memakai susuk ada sedikit perubahan yang saya rasakan. Bila dulu ada beberapa teman kantor yang suka melecehkan saya, kini semua itu seakan bagian dari masa lalu. “Kalau sudah tidak betah tinggal di sini, kamu keluar juga tidak masalah,” ungkapan bernada sinis semacam ini tidak lagi saya dengar. Bahkan sebaliknya, teman-teman kantor semakin menaruh hormat kepada saya. Tidak ada yang jahil atau iseng.
Teman kantor pun merasakan perubahan yang ada sehingga mereka sempat bertanya, “Nur, kamu itu dukunnya di mana sih, kok diapa-apain tidak mempan?” ledek teman-teman suatu siang. Saya hanya menanggapi semuanya dengan senyuman karena selama ini saya merasa tidak pernah pergi ke dukun. Meski waktu itu terbetik dalam pikiran saya bahwa selama ini ada orang-orang yang tidak senang dengan saya. Hal itu diperkuat dengan hilangnya uang kantor yang bilangannya menembus angka jutaan.
Awal Permasalahan
Keterikatan saya dengan tempat pengajian terputus karena Ratih, istri guru pembimbing, cemburu. Ia menganggap keberadaan saya akan merusak kebahagiaan rumah tangganya. Hal ini tidak terlepas dari mimpi yang dialaminya bahwa akan muncul seorang wanita bertubuh kecil dengan rambut sebahu yang akan meruntuhkan biduk rumah tangganya. Tuduhan itu pun mengarah kepada saya.
Ratih semakin menemukan alibinya ketika suatu hari saya membawakan oleh-oleh dari luar kota untuk guru pembimbing. Di depan mata saya, Ratih membuang oleh-oleh itu. Saya kecewa dan tidak terima diperlakukan seperti itu karena selama ini saya menganggap bahwa hubungan yang ada di antara kami sebatas hubungan seorang guru dan murid. Tidak lebih dari itu.
Karena kecewa, berbagai mustika seperti keris kecil dan batu berbentuk agak persegi, tidak bulat dan tidak persegi empat yang berwarna oranye yang saya dapatkan sewaktu mengikuti ritual berendam di Pantai Anyer pun saya bagi-bagikan kepada beberapa teman yang masih aktif di pengajian. Saya ingin mengakhiri semuanya tanpa menyisakan kenangan apapun.
Selang beberapa minggu setelah keluar dari kelompok pengajian saya mengalami peristiwa ganjil yang terjadi berulang-ulang. Seperti yang terjadi pada suatu hari ketika sedang tiduran sambil menonton TV di rumah tante. Tiba-tiba saja, seperti ada binatang ngengat yang masuk ke telinga saya. Sayap dan cakarannya jelas terasa di gendang telinga. Cakaran yang sangat menyakitkan, hingga saya pun tidak kuasa menahan teriakan. Saya tutup telinga dan saya pukul-pukul kepala saya, tapi rasa sakit itu tidak juga hilang.
Dokter yang memeriksa pun angkat tangan dan tidak menemukan satu binatang pun yang masuk ke telinga saya. Tapi rasa sakit itu terus merambat dan menggerogoti telinga hingga membentuk terowongan ke tenggorakan di bawah rahang. Kemudian berhenti di sana.
Saya tidak tahu, apakah ada hubungan antara kemunculan binatang misterius itu dengan keinginan saya untuk konsultasi kepada mantan guru pembimbing atas masalah yang saya hadapi di kantor atau tidak. Jika saya datang konsultasi pasti bertemu lagi dengan istrinya yang sudah sangat marah kepada saya. Namun akhirnya, saya mengurungkan niat untuk konsultasi dengan guru pembimbing.
Kehadiran binatang misterius ini terus berlanjut. Seperti semut atau ngengat yang masuk ke hidung atau sekadar berkutat di sekitar telinga. Yang menjadi tanda tanya adalah mengapa hal ini seringkali terulang. lni bukan suatu kebetulan semata, tapi memang ada orang yang berniat tidak baik kepada saya. Saya tidak berani menunjuk seseorang sebagai kambing hitam karena saya tidak punya sesuatu yang bisa dijadikan sebagai barang bukti.
Keanehan demi keanehan seakan tidak pernah berhenti. Bahkan semakin lama semakin meningkat. Bila sebelumnya hanya mengganggu secara fisik, kini gangguan itu mulai menggerogoti ibadah saya. Seperti yang terjadi pada bulan puasa tahun 2004. Ketika saya akan melaksanakan shalat tarawih, tiba-tiba saja kaki saya tidak bisa digerakkan. Seperti ada dua tangan besar yang memegang kedua kaki saya sehingga tidak bisa berjalan. la seperti orang yang tiduran sarnbil memegang kaki saya dengan dua tangannya. Saya terus memaksakan diri melepaskan diri dari cengkeramannya dengan sekuat tenaga dan disertai dengan dzikir.
Bau Busuk Sampah Menyebar dari Tubuh Saya
Di penghujung malam tahun 2004 yang sekaligus menandai pergantian tahun baru 2005, saya mengikuti kegiatan I’tikaf di Masjid At-Tin, Jakarta Timur. Saya ingin mengawali tahun 2005 dengan sesuatu yang positif. Saya ingin menjadikan malam itu sebagai tonggak baru dalam kehidupan saya. Tapi justru malam itulah awal penderitaan yang tiada terperikan. Sebuah derita yang pernah dialami Nabi Ayyub.
Saat mendengarkan ceramah di lantai atas, orang-orang di sekeliling saya bertingkah aneh. Mereka mengendus bau busuk yang makin lama makin tajam, seperti bau sampah yang lama menumpuk. Satu dua orang di sekeliling saya mulai mengambil tissue dan menjadikannya sebagai penutup hidung.
Tatapan mereka menyiratkan tandatanya kepada saya, hingga saya pun memutuskan untuk turun ke lantai bawah. Hati saya gelisah dan tidak tenang, terlebih bila saya selalu bolak-balik berwudhu karena selalu batal. Di saat itulah saya iseng bertanya kepada seorang penjual makanan di halaman masjid.
“Pak, di sini ada timbunan sampah?”
“Nggak ada, Non.” Jawab penjual makanan.
“Bapak mencium bau sampah nggak?”
“Nggak, Non.” Jawabnya dengan muka keheranan.
Dari sini saya berpikir bahwa bau itu berasal dari diri saya, terlebih mengingat berbagai kejanggalan yang pernah terjadi. Saya semakin pusing, gangguan itu seakan terus membuntuti saya. Berjalan mengelilingi Masjid At-Tin masih tetap tidak bisa menghilangkan kegalauan jiwa, hingga akhirnya saya putuskan untuk mengikuti I’tikaf di lorong bawah Masjid At-Tin.
Untuk menjawab sekian pertanyaan itu, saya berobat ke dokter, tapi hasilnya tetap negatif. Saya tidak menderita penyakit apa-apa yang dapat mengeluarkan bau busuk. Tapi kejadian serupa sesekali terulang ketika saya berada di tempat umum, seperti di kendaraan. umum atau pun di lift, hingga orang-orang yang berada di sekitar saya pun kesal dan membanting jendela mobil dengan keras. Mereka memang tidak mengucapkan sepatah kata pun yang memojokkan saya, tapi dari tatapan mata dan gerak-gerik mereka, saya sadar bahwa saya menjadi tertuduh atas merebaknya bau sampah yang tidak wajar itu.
Sedih dan minder tidak dapat saya tutupi, tapi mau berbuat apa? Menyangkal juga tidak ada gunanya. Bahkan ketika naik kereta pun bau busuk itu seakan menyertai saya, sehingga kereta yang penuh sesak itu membiarkan satu deretan bangku yang saya duduki tetap kosong. Mereka memilih berdesak-desakkan di bangku lain atau berdiri sambil bergelayutan. Bila sudah ada isyarat semacam itu, saya sadar bahwa bau sampah itu kembali hadir.
Setelah sekian lama tidak muncul, ketika shalat bau busuk itu kembali hadir bersamaan dengan datangnya sosok tinggi besar. Dari jauh makhluk itu semakin mendekat. Was-was, takut, gemetar bercampur aduk menjadi satu. Tapi saya tidak mau mengalah. Saya berusaha melawan, tapi kekuatan makhluk itu lebih besar dari saya dan terjadilah apa yang harus terjadi. Makhluk itu masuk ke dalam diri saya dan mengalirkan bau busuk. Saya sampai tidak bisa membedakan apakah bau itu di dalam diri saya atau di sekitar saya. Secara reflek saya segera menutup hidung rapat-rapat. Namun ketika hal ini saya ceritakan kepada ibu, ia tidak percaya karena selama ini ia memang belum pernah mencium bau tersebut.
Saya menangis. Orangtua yang selama ini meniadi sandaran kekuatan saya tidak percaya dengan semua yang saya ceritakan. Semuanya dianggap seperti angin lalu. Saya berdoa kepada Allah agar menunjukkan kepada orangtua atas apa yang terjadi.
Doa saya dikabulkan Allah. Buktinya ibu mencium sendiri bau tersebut, awalnya ketika saya mau melaksanakan shalat Dhuha, ibu masuk ke dalam kamar saya. “Baunya Nuur, kayak bau di cubluk (sepiteng) baunya apek campur pahit,” kata ibu. lbu yang belum lama mencium bau busuk itu pun pusing.
Jam empat sore bau itu muncul kembali. lbu sampai meminjam bayfresh. “Pinjam dong bayfresh,” kata ibu. Setelah semua ruangan selesai disemprot, dari kamar saya tercium bau harum yang sangat menyengat. Seperti minyak wangi yang sengaia ditumpahkan ke tanah, padahal selama ini saya tidak pernah menggunakan minyak wangi.
Memang, yang mengatakan secara terbuka mencium bau busuk hanyalah ibu semata, sementara saudara-saudara saya tidak ada yang secara terang-terangan mengakuinya. Mereka hanya memasang kipas angin. Tapi dari sini, saya menyadari bahwa mereka juga menciumnya, hanya saia mereka tidak mau menyinggung perasaan saya.
Dalam kondisi demikian, mereka menganjurkan saya untuk berobat ke orang Pintar. Saya menurut begitu saja, karena saya sudah tidak tahan dengan apa yang terjadi. Oleh orang pintar itu pun saya disuruh minum air daun kelor dan dimandikan dengan air daun kelor serta disuruh banyak berdzikir. Saya juga diajari bagaimana merasakan datangnya makhluk halus serta mengeluarkannya sendiri melalui pendeteksian dengan tangan.
Bisak-Bisik Tetangga Yang Merisaukan
Tetangga kanan kiri akhirnya pada ribut, “lni bau apa sih?” teriak mereka kepada satu sama lain. Awalnya mereka tidak menyadari bahwa bau busuk itu berasal dari sekitar diri saya, tapi lama kelamaan semuanya itu tentu tidak bisa lagi ditutup-tutupi. Akhirnya mereka mengetahui darimana sumber bau busuk itu. Ketika melihat saya menyapu di halaman rumah, mereka segera mengambil langkah aman dengan menutup kembali pintu dan jendela yang terbuka. Yang lebih menyakitkan lagi, mereka segera menyemprot kan bayfresh di dalam rumah begitu bau busuk itu mulai mereka cium.
Sebagai orang yang merasa tidak bersalah dan tidak tahu apa-apa atas apa yang terjadi, saya sangat terpukul dengan perlakuan mereka. Meski saya juga tidak bisa menyalahkan mereka.
Keesokan harinya saya kembali menyapu di halaman dan bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan buruk. Benar saja, saya merasakan diri saya diserang oleh jin dari berbagai penjuru dan saya pun kembali masuk ke dalam. Saya tidak bisa mengobati diri saya lagi, karena ilmu yang pernah saya pelajari dari orang pintar itu seakan hilang begitu saja. Rasanya hambar lagi. Tangan saya tidak bisa digunakan untuk mendeteksi serangan jin.
Perjalanan inilah yang kemudian menimbulkan tanda Tanya dalam diri saya, kalau saya bisa merasakan jin, apakah di dalam diri saya juga tidak ada jinnya? Sebuah pertanyaan yang baru terjawab setelah ada seorang teman yang member saya kaset ruqyah yang katanya bisa mendeteksi apakah seseorang terkena gangguan jin atau tidak.
Sedangkan kalau saya diam saja, saya tidak bisa berbuat apa-apa. Padahal saya memiliki anak yang harus dibiayai. Akhirnya saya memutar kaset ruqyah di malam hari. Badan saya gemetar, kepala seakan dibentur-benturkan. Namun, tanpa saya duga sebelumnya, tetangga yang sayup-sayup mendengar kaset ruqyah dari dalam rumah saya menjadi ribut. Mereka marah-marah karena saya dianggap menimbulkan kebisingan. Aneh, saya mengaji di rumah pun dibilang sedang menyanyi. Mereka seakan terusik dengan kaset ruqyah dan suara mengaji saya.
Sejak memutar kaset ruqyah di bulan Maret itu saya berani keluar rumah dan bertemu matahari. Saya bersyukur, kekhawatiran dan ketakutan saya selama ini berangsur-angsur hilang.
Hanya saja, bau korek api terbakar atau bau busuk itu masih saja tercium dari tubuh saya setiap pagi. Satu hal yang membuat saya takut untuk bangun dan shalat shubuh di awal waktu. Selain itu, suara binatang buas yang mencakar-cakar dinding kamar saya sesekali juga terdengar. Sementara keluarga yang lain tidak ada yang mendengarnya. Aneh memang, ketika saya berteriak keras pun seakan tidak ada yang mendengar. Saya melempar pintu atau membuat kegaduhan di kamar pun tidak ada yang tahu. Saya sedih sekali karena dianggap berbohong ketika hal ini saya ceritakan kepada keluarga.
Menjalani Terapi Ruqyah Syar’iyyah
Awal bulan April, saya mengikuti terapi ruqyah di rumah Ustadz Febri sebagai bentuk lanjutan dari terapi dengan kaset. Di sana, saya memberontak dan meronta-ronta. Ustadz yang menerapi saya pun tidak luput dari amukan saya. Saya menendang dan memukul sebisanya sebelum akhirnya badan saya lemas. Setelah itu mulailah terjadi dialog dengan jin yang merasuk ke dalam diri saya.
Cukup banyak jin waktu itu yang katanya keluar, meski ada beberapa yang masih membandel dan tidak mau keluar. Jin-jin itu mengatakan bahwa mereka memang dikirim untuk menyakiti saya oleh orang-orang yang tidak senang dengan keberadaan saya dan keberanian saya keluar dari Pengajian. Memang, semua itu hanyalah pengakuan jin yang tidak begitu saja bisa dipercayai, tapi setidaknya dari sini saya bisa melakukan introspeksi dan kembali memperbaiki diri.
Sepulang dari ruqyah yang pertama, saya merasakan badan terasa lebih ringan. Beban yang selama ini menghimpit terasa jauh berkurang, meski saya sadar bahwa proses penyembuhan ini tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Karena itu ketika keluar dari pagar rumah Ustadz Febri dan terdengar bisikan di telinga saya berupa suara tertawa yang melecehkan saya, saya pun biasa saja. “Ha ha ha, cuma begitu saja.”
Sesampainya di rumah saya berusaha untuk shalat, tapi entahlah seakan ada sesuatu yang masih menghalangi saya. Saya pun berdoa di dalam hati, “Ya Allah tolonglah saya mau beribadah. Masih banyak dosa yang harus diampuni.”
Keesokan harinya, satu dua hari masih tercium bau-bau yang tidak enak. Tapi beberapa hari kemudian, bau itu berangsur-angsur semakin berkurang. Setelah ruqyah itu saya punya keberanian keluar rumah, walau belum berani sendiri. Tapi setidaknya saya sudah tidak seperti dulu lagi dengan mengurung diri di dalam rumah.
Pada ruqyah yang kedua, jin tidak mau mendengar ayat-ayat ruqyah. Air ruqyah yang dicampur garam pun berubah rasanya. Air itu terasa seperti ingus yang menjijikkan. Bahkan air itu berubah laksana air panas ketika saya mencuci tangan dan kaki di baskom dan beberapa detik kemudian terjadilah keanehan. Ketika Ustadz Febri memijat daerah leher karena tenggorokan saya masih terasa sakit, keluarlah sosok makhluk besar seperti seekor Kingkong dengan rambutnya yang panjang. Apakah itu sosok makhluk yang selama ini mengalirkan bau busuk dari dalam diri saya? Saya tidak tahu.
Sekarang bau busuk itu sesekali masih tercium tapi setidaknya dengan ruqyah ini banyak kemajuan yang telah saya alami. Saya sadar bahwa untuk menuntaskan gangguan bau busuk itu masih membutuhkan waktu yang entah sampai kapan. Tapi saya berbahagia karena kini telah menemukan pengobatan yang lslami yang tidak menyimpang dari lalur agama. Bagi saya itu adalah keberuntungan tersendiri.
Semoga kisah ini menjadi pelajaran berharga bagi siapapun. Agar kita berhati-hati dalam mempelaiari di mana dan kepada siapa kita menimba ilmu. Dan niatan untuk meraih surga pun tidak berganti bencana. Alih-alih mendapat surga, neraka dunia justru menjadi imbalannya.
(Sumber  www.ghoibruqyah.com )

(2)        SAKIT KULIT SETELAH 7 TAHUN MENJALIN CINTA
 (Majalah Ghoib)

Pacaran, di zaman sekarang dianggap sesuatu yang lumrah dan wajar saja. Seorang anak yang tumbuh remaja dan belum mempunyai pacar dianggap sebagai anak yang kurang bergaul dan tidak laku. Padahal keburukan yang tersembunyi di balik racun asmara tersebut lebih mengerikan daripada manisnya. Disamping balasan atas pelanggaran norma agama, kesengsaraan dan penderitaan akibat pacaran juga tidak terhitung banyaknya. Seperti yang dialami Meilawati, seorang perawat yang mengalami gangguan alergi kulit akibat putus pacaran di tengah jalan. Orang yang selama ini diharapkan menjadi pendamping hidupnya justru telah mengirimnya guna-guna. Meilawati menuturkan kisahnya kepada Majalah Ghoib di Cibubur. Berikut kisahnya.
Saya tumbuh dewasa menjadi seorang gadis tomboy. Dengan gaya yang berbeda dengan anak gadis lainnya. Sedikit berangasan dan ceplas-ceplos. Lantaran penampilan saya yang demikian itu, saya menjadi sandaran bagi teman-teman saya yang lemah. Bila ada di antara mereka yang diganggu oleh anak laki-laki, mereka mengadu kepada saya. Saya tidak terima melihat teman saya diperlakukan semena-mena. Saya pun tidak tinggal diam. Saya labrak anak laki-laki yang kurang ajar itu. Tidaklah mengherankan bila tidak ada anak laki-laki pun yang berani mendekati saya.
Hingga suatu hari, saat saya masih duduk di bangku SMP kelas dua, Ana, teman akrab saya menantang saya. “Ti, ada cowok cakep di kelas tiga. Namanya Alex. Kamu bisa nggak dapatin dia?” Saya penasaran, seperti apa sih orang yang dipanggil Alex itu. “Mana sih anaknya?” “Tuh lagi main bola,” seloroh Ana.
“Lumayan juga tuh cowok,” gumam saya. Merasa mendapat tantangan dari Ana, rasa iseng saya muncul. “Jangan panggil Wati, kalau tidak bisa dapatkan dia.” “Ayo kita buktikan,” timpal Ana sambil cengar-cengir. Melalui Ana, saya mencoba memancing perhatian Alex dengan cara memberinya salam.
Beberapa hari berikutnya saya mendapat kabar dari Ana bila salam saya sudah disampaikan, “i, salam kamu sudah saya sampaikan.” “Terus dia ngomong apa?” tanya saya penasaran. “Alaaa Wati, kayak cowok saja kok. Gue tidak suka sama dia,” tutur Ana menirukan jawaban Alex. Saya tidak terima karena ini adalah penghinaan. Akhirnya saya mencari Alex dan mendampratnya habis-habisan. “Loe jangan menghina gue ya. Jangan sok ganteng. Yang lebih dari loe tuh, gue bisa dapet.”
Jadilah pertemuan pertama itu meniadi ajang pertengkaran, hingga akhirnya berujung kepada suatu pertanyaan menggantung yang keluar begitu saja dari bibir saya. “Jadi kamu maunya apal” “Ya, aku mau sama kamu. Kamunya gimana?” tanya Alex.
Karena saya sudah taruhan dan tidak mau dilecehkan, akhirnya saya menyambut uluran tangan Alex. Kisah cinta gaya anak SMP Yang selama ini hanya menjadi tontonan saja bagi saya, sudah mulai saya rasakan. Satu hal yang terus berlanjut hingga saya lulus SMP sementara Alex tidak melanjutkan sekolah ke SMA.
Setamat SMP saya melanjutkan sekolah di Bandar Lampung. Jauh dari rumah orangtua dengan Alex yang tinggal di Lampung Selatan. Hari-hari saya jalani seperti biasa. Bertemu dengan teman-teman baru dan kegiatan yang sedikit berbeda ketika di SMP. Surat dari Alex, sesekali mampir ke tempat kos-kosan. Menghangatkan kembali kenangan masa lalu.
Benih cinta yang belum layu semakin mekar saat Alex menyempatkan diri untuk sesekali berkunjung ke Bandar Lampung. Kisah cinta yang tidak selalu berjalan mulus. Rasa cemburu sering menghantui diri Alex. la merasa bahwa ada beberapa teman SMA Yang juga tertarik kepada saya, sementara ia sendiri tidak setiap saat mengetahui apa yang saya lakukan. Sehingga perubahan potongan rambut saja, Alex sudah blingsatan. la takut bila saya berpaling kepada lelaki lain.
Pertengkaran pun tidak bisa dihindari. “Terserah, kalau masih tidak percaya,” ujar saya emosional. Pertengkaran yang berujung pada ketidakmunculan Alex di Bandar Lampung hingga setahun. la sama sekali tidak menampakkan batang hidungnya. Surat yang biasanya sebulan sekali datang luga tidak pernah lagi mampir.
Hingga suatu hari ada seorang teman yang menyampaikan kabar bahwa ada surat untuk saya di kantor. Ketika saya mau mengambilnya, ternyata surat itu sudah tidak ada. la bahkan sudah ada dalam genggaman Andi, kakak kelas yang selama ini menunjukkan rasa simpatinya kepada sapa. Saya langsung merebutnya dari belakang. Dari sini akhirnya Andi mengakui bahwa ia sudah lima kali mengambil surat saya.
Tanpa terasa waktu tiga tahun telah berlalu. Masa-masa SMA telah berakhir, dan berganti dengan dunia baru. Di sini, saya masih ingin meraih cita-cita yang lebih tinggi. Saya tidak ingin sekadar menjadi ibu rumah tangga tanpa membawa bekal yang cukup berarti untuk masa depan saya dan keluarga.
Saya diterima di Akper Padang angkatan 99. Satu hal yang harus disyukuri, karena sebelumnya gagal ketika mendaftar di Yogya. Waktu yang tidak terlalu lama di Yogya telah merubah perilaku saya. Dari anak tomboy bercelana jeans dan berkaos ketat berganti dengan kaos lengan panjang dan berjilbab. Perubahan drastis yang sempat menjadi gunjingan teman-teman SMA. Tapi saya tidak peduli. Saya tetap tegar melangkah dengan perubahan yang terjadi.
Kuliah di Padang dan jilbab yang menghiasi kepala masih belum bisa menghentikan kisah cinta saya dengan Alex. Surat maupun obrolan singkat via telpon menjadi alternatif lain. Meski sebenarnya sebelum berangkat ke Padang, ibu telah berpesan agar saya tidak berpacaran. “Kamu mau kuliah atau mau pacaran. Kalau mau pacaran tidak boleh kuliah.”
Karena itu, saya tidak pernah mengajak Alex berkenalan dengan orangtua saya. Selama ini semuanya masih menjadi rahasia kami berdua, hingga pertemuan pun harus dilakukan di luar sepengetahuan keluarga. Kesempatan pulang ke Lampung yang hanya setahun sekali, praktis saya habiskan bersama keluarga. Tidak ada kesempatan untuk bertemu Alex. Di samping memang saya belum ingin hubungan ini diketahui orangtua.
Untuk itu, pada tahun kedua Alex mengalah. la yang datang ke Padang, meski pertemuan itu pun tidak terlalu lama. Di sela-sela jadwal kuliah saya. Terakhir, setelah saya selesai kuliah, Alex menjemput saya. Dia ingin membantu saya mengangkut barang-barang saya. Waktu itu, Alex menginap di rumah sepupuh saya.
Awalnya saudara sepupu saya bertanya siapa dia. Saya ceritakan saja apa adanya, bahwa Alex hanya lulus SMP dan masih belum kerja. Dia hanya membantu orangtuanya berkebun di Lampung. “Pikir-pikirlah dulu, sebelum terlanjur,” hanya itulah komentar saudara sepupu saya.
Awal Perubahan
Juni 2003, saya merantau ke Jakarta dan ikut menumpang di rumah paman di Tangerang. Untunglah saya tidak harus menganggur terlalu lama. Surat lamaran yang saya kirim ke berbagai instansi mendapat jawaban dari sebuah klinik di Tangerang. Dari sini, saya mulai bersentuhan dengan dunia kerja dan teman-teman yang berkarakter macam-macam.
Perbedaan pulau bukan halangan bagi hubungan saya dengan Alex. Alex di Lampung dan saya di Tangerang, tapi hubungan kami masih lancer-lancar saja. Surat serta telpon yang menjadi penyambung kesetiaan kami.
Sejujurnya, saya sendiri merasa aneh dengan perasaan cinta yang seakan berlebihan. Siang malam wajah Alex selalu terbayang, terlebih bila sedang tidak ada kerja. Kerinduan yang mencapai ubun-ubun hingga terkadang saya menangis. Tangisan yang berganti dengan canda ria begitu telpon berdering atau ada surat yang datang.
Bahkan perintah Alex yang menyuruh saya keluar dari klinik pun saya turuti begitu saja. Hanya karena ada seorang karyawan yang tertarik kepada saya. Sebut saja namanya Lesmana. Tapi entahlah  bagaimana Alex bisa tahu bila ada yang suka sama saya. Padahal saya tidak bercerita apa-apa tentang Lesmana dan saya pun tidak jatuh cinta kepadanya. Dulu, sewaktu masih di Padang Alex memang sempat mengancam biln saya berpaling darinya, “Siapapun tidak akan bisa menikahi kamu. Mudah bagiku untuk membunuhmu. Dari jauh juga bisa. Misalnya kamu di Jakarta atau di Padang. Ah, gampang bunuh orang. Darimana saja juga bisa Foto kamu kan ada padaku. Adil kan. Aku nggak dapat. lbu kamu nggak dapat. Suami kamu juga nggak dapat. Kamu mati masuk neraka.”
Lepas dari klinik di Tangerang, saya diterima bekerja sebagai perawat di rumah sakit swasta di Jakara Timur. Dan hubungan kami kembali lancer seperti biasa. Hingga pada suatu hari di bulan Januari abang saya datang ke Jakarta- Abang menginap di rumah paman. Mungkin abang merasa saya sudah dewasa, sehingga ia bertanya kepada paman siapa sebenarnya pacar saya. Dan tanpa ditutup-tutupi paman bercerita siapa sebenarnya pacar saya.
Mendengar kabar bahwa saya sudah menjalin cinta dengan Alex bertahun-tahun, abang naik pitam. la merasa telah dibohongi oleh adik yang telah di besarkannya dengan keringat. Saya dianggap telah mencoreng arang diwajah, terlebih bila yang menjadi pacar saya adalah Alex, orang yang dalam pandangan abang kurang baik dan tidak layak menjadi suami saya.
Abang langsung menelpon Alex dan memintanya untuk menjauhi saya. Hal ini saya ketahui setelah Alex menelpon saya. “Ti, abangmu di Jakarta ya?. Dia nelpon saya agar menjauhimu.” Saya panik. Rahasia yang selama ini terbungkus rapi, akhirnya terbongkar juga.
Terus terang, saya takut bertemu abang. Tapi jam 9 malam, abang menelpon dan mengatakan bahwa ia langsung balik ke Lampung. “Ti, abang mau ke Lampung.” Melalui telepon, abang kembali mengingatkan saya untuk segera mengakhiri pacaran dengan Alex.
Bimbang, ragu, gundah bercampur aduk menjadi satu. Cukup lama saya terdiam kaku memilih langkah yang harus diambil. Terus terang, ini bukan keputusan mudah. Saya seperti memakan buah simalakama. Tapi salah satu harus dikalahkan. Setelah menimbang cukup lama akhirnya saya memutuskan untuk menuruti saran Abang. Dengan kata lain, saya harus segera mengakhiri petualangan cinta bersama Alex.
Saya menelpon temannya Alex dan menitip pesan agar Alex segera ke Jakarta. Setelah hilang rasa penat, barulah saya menceritakan semua yang terjadi. Saya mengajaknya mengakhiri pacaran. “Saya tidak bisa menentang Abang saya. Semenjak ibu meninggal, Abang yang membiayai kuliah saya. Dan saya juga berencana untuk kuliah lagi.”
Alex nampak tidak terima dan tidak mau putus di jalan. Saya sadar memang tidak mudah melupakan orang yang kita kenal selama ini. Untuk itu saya berusaha memutus hubungan dengan Alex secara perlahan. Keinginan Alex untuk datang pada hari ulang tahun saya di bulan April 2004, juga saya biarkan. Terlebih memang pada saat itu juga ada teman-teman yang datang. Kebetulan pada saat yang sama Yanto, teman kerja yang tertarik dengan saya juga hadir. Alex semakin cemburu. la benar-benar merasa kisah cintanya segera berakhir. Dan akhirnya pulang dengan membawa kepedihan.
Derita sakit kulit membawa saya berhubungan dengan paranormal
Bulan Mei 2004, tidak seperti biasanya saya merasakan ada keanehan pada kulit di sekujur tubuh saya. Bentol-bentol berwarna merah menghiasi kulit kuning langsat yang selama ini saya banggakan. Gatal. Dan semakin gatal bila digaruk. Awalnya saya kira ini adalah sakit biasa. Teman-teman juga menganggap saya alergi ikan laut.
Beberapa hari kemudian, perut saya sakit. Rasanya mual. Semakin lama semakin parah. Awalnya sehari ke kamar kecil cuma sekali, esoknya sehari tiga kali. Hari berikutnya empat kali. Rasa sakit di perut kian hari tambah parah.
Hari-hari berikutnya setiap hari saya harus disuntik oleh teman sesama perawat. Benjolan merah di sekujur badan sempat mengempis dan hilang. Dua jam kemudian benjolan merah yang gatal itu datang lagi. Begitu seterusnya sampai mulut saya jontor karenanya. Dokter yang sempat merawat saya hanya mengatakan bahwa saya alergi dingin. Dan untuk mengetahui penyakit yang sebenarnya dokter merekomendasikan saya untuk check up di RSCM. Setelah check up di RSCM hasilnya juga tidak banyak berubah. Gatal-gatal di kulit tetap saia tidak mau hilang. Bahkan lebih parah hingga saya sampai berteriak-teriak.
Melihat berbagai kejanggalan itu, salah seorang teman menyarankan saya untuk berobat ke Chandra (nama samaran) seorang paranormal di Ciledug, Tangerang. Malam Jum’at di bulan Juli, saya nekat ke  Ciledug dengan diantar seorang teman. Sebenarnya saya hanya ingin ahu, apakah penyakit saya ini medis atau tidak. Tapi semua itu justru menjadi awal keterikatan saya dengan paranormal. Dengan memegang telapak tangan saya, Chandra menerawang. “Benar Ti, kamu sudah lama kena guna-guna.” “Sudah lama kamu dijerat ajian putar giling,” lanjut Chandra. Saya langsung down dibilang begitu, meski tidak percaya sepenuhnya.
Untuk itu saya harus dimandikan dengan kembang. Memang, setelah mandi kembang. badan saya menjadi lemas. Bayangan tentang Alex mendadak hilang. Padahal biasanya saya selalu memikirkan tentang dia, sedetik pun hati saya seakan tidak bisa terlepas dari bayangannya.
Tiga hari kemudian saya kambuh lagi. Akhirnya saya datang lagi ke Ciledug. Begitu seterusnya setelah sembuh beberapa hari, lalu kambuh lagi. Lantaran tidak punya pilihan lain, saya menceritakan semuanya kepada paman yang tinggal di Tangerang. Dari cerita itu mereka membawa saya ke seorang  paranormal perempuan di Tangerang. Sebut saja namanya Widuri.
Entah apa yang dibaca oleh Bu Widuri sehingga tiba-tiba saja suaranya berubah seperti suara nenek-nenek. “Oh… ini memang tidak benar.” Sejurus kemudian ia menaruh daun sirih di lengan saya. Dan … terjadilah apa yang harus teriadi. Dari balik daun sirih keluar tujuh buah silet yang sudah karatan. Saya merasakan memang ada sesuatu yang mengalir di lengan saya. Pedih rasanya. Bibi yang menemani saya, hanya bisa menangis. la tidak tega melihat keponakannya diperlakukan sedemikian rupa Kemudian saya di bawah ke dalam kamar. Menurut Bu Widuri untuk menangkal guna-guna itu di dalam kulit saya harus ditanam emas.
Saya bilang saya tidak punya emas selain yang menempel di badan. Akhirnya saya korbankan dua buah anting-anting saya untuk ditanam. Meski saya ragu apakah memang anting-anting itu benar-benar dimasukkan ke dalam kulit saya. Pasalnya waktu itu tidak boleh ada yang melihat. Saya hanya berdua dengan Bu Widuri di dalam kamar. Selain itu saya masih harus menyerahkan uang 250 ribu untuk beli kambing yang katanya dipakai untuk penjagaan rumah saya. Saya tidak peduli apakah uang itu untuk beli kambing atau tidak.
Terus terang saya seperti kerbau dicocok hidungnya. Apapun permintaan Bu Widuri selalu saya turuti. Bila memang membawa kesembuhan pada, diri saya. Bila memang gatal-gatal di kulit akhirnya hilang dan tidak kumat lagi. Tapi hasilnya jauh di luar harapan. Sakit kulit tetap mendera bahkan semakin parah.
Sakit kulit yang menurut beberapa orang akibat guna-guna itu masih belum bisa memalingkan saya dari bayangan Alex. Ketakutan akan kehilangan dia membuat saya semakin tertekan luar dalam. Padahal kalau dipikir-pikir apa sih yang dibanggakan dari dirinya? Dia hanya lulusan SMP dan belum kerja. Sehari-hari dia hanya membantu orangtuanya mengurus kebon.
Seperti yang terjadi pada bulan Agustus, saya nekat menemui Alex yang jauh-jauh datang dari Lampung ke Jakarta. Meski saya menangkap kesan dia tidak lagi seperti dulu. Dingin dan kurang perhatian. “Mas, aku alergi Mas. Bengkak semua. Kulit bentol-bentol semua. Merah. Mulutku juga jontor. Terus gimana Mas?” saya mencoba meminta jalan keluar. “ltu salah cowok kamu.” Seperti disambar halilintar, saya mendengarnya. Belum hilang keheranan saya, saya kembali dibuatnya ternganga. “Diguna-guna kali kamu sama cowok kamu,” ujarnya acuh tak acuh. “Kamu sadar nggak sih ngomong kayak gitu. Cowok saya itu kan kamu?” “Ya cowok kamu yang lain,” sergahnya. Pertemuan yang berbuntut pada pertengkaran sehingga saya memilih untuk pulang duluan.
Pertengkaran kembali berlanjut keesokan harinya, ketika dia mengajak bertemu lagi. Juga karena keluhan yang saya sampaikan. “Mas aku pusing.” “Minum saja inex, biar mati sekalian.” Saya heran dengan perubahan yang terjadi. Alex benar-benar telah berubah. la tidak lagi seperti dulu.
Saat itu, saya kembali menegaskan bahwa hubungan antara kita tidak bisa berlanjut. Saya tidak mau menjadi anak yang durhaka dengan melawan orangtua. Terlebih bila Alex memang tidak bertanggung-jawab. Dia hanya mau menang sendiri walau harus menyakiti orang lain.
Keputusan besar sudah dibuat dan tidak ada lagi alasan untuk surut ke belakang, meski sebenarnya hati kecil saya masih belum rela. Tapi semuanya harus diputuskan. Walau kulit terus gatal setiap hari.
Hingga pada suatu hari dokter Farid memberi saya kaset rugyah. Saat saya memutarnya di rumah, saya muntah-muntah. Karena itulah maka saya mendaftarkan diri untuk mengikuti terapi ruqyah di kantor Majalah Ghoib hingga tiga kali. Saat terapi yang pertama saya sampai muntah darah. Saya juga sempat teriak-teriak. Setelah ruqyah yang pertama saya merasakan kepala menjadi ringan.
Sepulang dari ruqyah saya berusaha untuk selalu mengaji dan membaca surat al-Baqarah. Beberapa minggu kemudian saya mengikuti terapi ruqyah yang kedua. Dan Alhamdulillah, setelah mengikuti terapi yang kedua, saya tidak lagi teringat bayangan Alex. Sakit kulit yang telah berbulan-bulan itu pun hilang dengan sendirinya seiring dengan ketekunan saya untuk shalat malam dan membaca al-Qur’an, selalu membaca basmalah sebelum makan serta membaca al-Ma’tsurat.
Selain itu, perasaan saya menjadi tenang ketika berada di rumah. Padahal dulu, baru membuka pintu sala saya sudah merinding. Teman-teman yang sering main ke rumah iuga merasakan hal yang sama. Bahkan antara sadar dan tidak ada seorang teman yang merasa seperti dicekik saat tidur di ruang tamu. “Uni, Uni bangun Uni,” saya membangunkannya. Sebelumnya memang terdengar suara berdebum di atas genteng. Seperti ada benda yang jatuh, tapi entahlah. Kita tidak berani mencarinya.
Saya bersyukur setelah mengikuti terapi ruqyah, gangguan yang saya alami selama ini telah hilang. Bayang-bayang Alex iuga tidak lagi menghantui saya. Meski saya akui bahwa ada saat-saat tertentu kenangan lama itu muncul kembali.
Namun satu hal yang saya syukuri bahwa saya bisa keluar dari masalah yang menyesakkan ini dengan lapang dada. Saya kembali menemukan keceriaan dan ketenangan setelah sekian lama hidup di bawah bayang-bayang dan ketakutan akan kehilangan seseorang. Padahal dia bukanlah siapa-siapa. Dia hanya masa lalu yang mengisi lembaran kelabu masa remaja saya. Semoga Allah mempertemukan saya dengan seorang laki-laki yang bertanggung iawab. Dan tentunya dengan proses yang sesuai dengan ajaran lslam. Saya ingin jilbab yang melekat di badan menjadi jembatan kebersihan hati dari debu-debu dosa.
(Sumber  www.ghoibruqyah.com )

(3)        SAKIT KAKI SELAMA 7 TAHUN TIDAK TERDETEKSI MEDIS
 (Majalah ghoib edisi khusus)
Malam itulah awal dari keanehan demi keanehan terjadi dalam hidup saya. Pada saat jam menunjukkan pukul 01.30 malam, saya merasa ada yang membangunkan. Terasa betul kaki saya dipukul-pukul agar bangun. Hanya saja, saya berfikir untuk menunda bangun. Saya pikir yang memukul kaki saya adalah teman saya yang tidur di samping saya. “Ya nanti dululah …” kata saya. Karena saya dipukul lebih keras, akhirnya saya bangun dan duduk di pinggir tempat tidur. Saya melihat di kamar itu ada makhluk seperti manusia tetapi pendek botak dan berkulit putih. Pakai baju kotak-kotak merah putih dengan celana pendek hitam. Tapi saya tidak bisa melihat matanya.
Saya orang Pekanbaru asli. Sebagai orang kelahiran sana, saya menamatkan SD, SMP, SMA di Pekanbaru. Sedangkan kuliah, saya mengambil D3 Akademi Perawat di Padang. Setelah tamat saya ingin melanjutkan S1 di UI Jakarta atau Unpad Bandung. Ujian masuk FIK (Fakultas Ilmu Keperawatan) Unpad dilaksanakan lebih dahulu dibandingkan UI. Selesai ujian, saya segera menuju Jakarta untuk mengikuti ujian masuk FIK UI Salemba Jakarta.
Di Jakarta saya menginap di rumah sepupu saya di komplek Taman Mini, Jakarta Timur. Rumahnya tidak luas. Kamar yang saya tempati berukuran 3×2 meter. Tempat tidurnya ukuran single. Di kamar itu ada satu lemari, satu meja belajar, jendela menghadap ke jalan dan tempat tidur di samping jendela. Malam itu saya tidur di samping jendela. Malam itu saya tidur bersama teman saya dari Padang yang juga akan ikut ujian di UI pada fakultas yang sama. Karena tempat tidurnya sempit, maka kami tidur saling miring.
Sementara di ruang depan, empat saudara laki-laki saya asyik menunggu jadwal pertandingan final piala dunia 1998 antara Brazil dan Prancis yang bertepatan dengan malam Sabtu, dimana keesokan harinya saya mengikuti tes UMPTN/SPMB. Sebelum tidur, saya sempat berdoa agar bisa bangun malam untuk shalat tahajud dan berdoa.
Malam itulah awal dari keanehan demi keanehan terjadi dalam hidup saya. Pada saat jam menunjukkan pukul 01.30 malam, saya merasa ada yang membangunkan. Terasa betul kaki saya dipukul-pukul agar bangun. Hanya saja, saya berfikir untuk menunda bangun. Saya pikir yang memukul kaki saya adalah teman saya yang tidur di samping saya. “Ya nanti dululah …” kata saya. Karena saya dipukul lebih keras, akhirnya saya bangun dan duduk di pinggir tempat tidur. Saya melihat di kamar itu ada makhluk seperti manusia tetapi pendek botak dan berkulit putih. Pakai baju kotak-kotak merah putih dengan celana pendek hitam. Tapi saya tidak bisa melihat matanya. Dia bicara, “Katanya mau shalat …?”
“Iya, mau shalat.”
“tapi mengapa dibangunkan tidak bangun-bangun.”
“Iya, ini saya mau shalat.”
“Ya udah, shalat yah.”
“Iya …”
Setelah dialog itu, dia berbalik dan menembus dinding. Melihat kejadian itu, saya baru merasakan ketakutan dan berteriak sekeras-kerasnya. Teriakan saya ternyata mengejutkan saudara-saudara saya yang sedang menonton di ruang keluarga yang ada di samping kamar saya. Teman di samping saya juga langsung terbangun. Saya keluar kamar. Di pintu berpapasan dengan sepupu saya yang mendobrak pintu, “Ada apa?” Saya jawab, “Saya lihat hantuuuu … Sssa … saya sempat ngobrol sama dia,” kata saya terengah-engah.
Jawaban saya dijawab dengan tawa saudara-saudara yang lain. “Kok, lihat hantu bisa bicara?” Sepupu saya yang masih di pintu marah mendengar saya jadi bahan tertawaan. Katanya, “Di sini memang ada hantunya. Biasanya dia datang kepada tamu yang baru. Tapi biasanya yang datang baik-baik.”
Akhirnya kakak-kakak yang lain nampak lebih serius dan bertanya, “Memang dia suruh kamu apa?”.
“Suruh shalat,” kata saya.
“Tuh kan, benar. Dia baik,” timpal sepupu saya lagi. Teman saya yang sedari tadi mendengarkan pembicaraan saya dengan sepupu saya justru jadi ketakutan.
Sabtu pagi itu, saya harus berjuang untuk tes masuk FIK di UI. Pada hari Minggu saya berangkat lagi ke Bandung. Pengumuman tes menyatakan bahwa saya lulus di dua universitas Unpad dan UI. Hanya saja saya memilih Unpad karena orang tua melarang saya tinggal di Jakarta, mengingat tahun 1998 adalah tahun kerusuhan lengsernya presiden.
Di Bandung, saya tinggal di Cikutra dekat dengan taman makam pahlawan. Saya tinggal di rumah yang berada di dalam gang yang tidak bisa masuk mobil. Untuk mencapai rumah, jalannya naik. Tetapi rumah itu sangat luas. Halamannya lebar dan pohonnya besar ada pohon jambu air, bunga sedap malam bahkan kadang kelinci pun ada. Tetapi rumah tersebut terkesan pengap karena sinar matahari tidak bisa menembus daun dan ranting pohon yang besar. Di depan rumah ada masjid.
Rumah itu terdiri dari dua lantai. Rumah itu sengaja disediakan untuk dijadikan kos-kosan. Ibu kosnya juga tinggal di rumah itu. Saya tinggal di kamar utama yang sangat luas di lantai bawah. Sementara di lantai atas ada 8 mahasiswa laki yang tinggal, termasuk kakak ipar saya.
Bulan itu adalah bulan Agustus. Malam pertama saya tinggal di rumah itu saya lalui biasa saja. Pada malam kedua, makhluk botak yang pernah saya lihat di Jakarta datang lagi. Setelah itu, kemunculannya terhitung sangat sering. Setiap saya berdoa sebelum tidur untuk bisa bangun di malam hari, dia selalu muncul. Padahal dalam satu minggu saya bisa empat kali berdoa untuk bisa bangun malam. Maka setiap itu pula dia muncul dengan wajah dan penampilan persis seperti kemunculannya yang pertama.
Tetapi ada sedikit perbedaan pesan makhluk itu. Sejak saya tinggal di Bandung, pesan makhluk itu ditambah, “Dena, kamu pakai jilbab! Ingat kan kamu dilihatin orang waktu naik angkot di Padang. Ingatkan, waktu kamu ujian di Bandung, orang-orang ingin nyubitin kamu. Sudah saatnya kamu menutup aurat!.”
Saya sangat takut. Akhirnya saya menulis surat untuk ibu di Pekanbaru. Saya sampaikan bahwa melihat makhluk aneh. Saking takutnya saya mengirim surat dengan isi yang sama dua kali seminggu dalam rentang sebulan. Akhirnya ibu menelepon langsung menanyakan keadaan saya. Ibu sempat bertanya bagaimana bentuk makhluk itu. Beliau menasehati saya agar berpikir yang matang, agar tidak memakai jilbab hanya karena menuruti pesan makhluk itu. Ibu hanya berkata mungkin saya tidak pernah  mengaji atau lupa berdoa sebelum tidur. Selain itu, ibu juga mengirim surat dalam amplop coklat yang berisi doa-doa untuk melindungi saya. Yang saya ingat, doa perlindungan itu berupa bacaan surat al-Insyirah sebanyak 40 kali dan kalau shalat tahajud baca surat al-Kafirun pada rakaat pertama serta al-Ikhlas pada rakaat kedua. Saya menuruti nasehat itu, tetapi tetap saja makhluk itu datang.
Karena makhluk itu selalu berpesan sama dan mengingatkan saya pada dua peristiwa, saya mencoba mengingat dua peristiwa, saya mencoba mengingat dua peristiwa itu. Memang, saat saya di Padang ada KKN. Di angkot, saya memakai baju putih pendek dan rok putih pendek. Saya sempat mendengar omongan orang-orang di angkot melihat saya dalam bahasa Minang yang kalau diindonesiakan, “Anak itu putih banget, kayak ubi.”
Adapun ketika masuk ruangan di Unpad Bandung, waktu saya memakai celana panjang dengan lengan pendek warna hijau yang sampai sekarang masih saya simpan. Selesai ujian, teman-teman berkata, “Dena, besok-besok kamu pakai lengan panjanglah, orang-orang pada lihatin lengan kamu yang sangat putih dan pinginnya nyubit aja.”
Kegelisahan dan ketakutan saya bertambah. Tidak hanya menulis surat ke Pekanbaru, saya kali ini langsung menelepon ibu di rumah. Akhirnya karena saya sering mengirim surat dan menelepon ke rumah, orang tua di rumah menjadi gelisah juga.
Suasana rumah yang seperti itu membuat saya tidak betah. Hanya sekitar dua bulan saya tingal di rumah itu, untuk kemudian pindah rumah ke Cileunyi. Saya tinggal di rumah itu, bersama kakak saya yang juga kuliah di Bandung. Setelah tiga bulan di rumah itu saya mulai memakai jilbab. Tentu saja saya memakai jilbab bukan karena perintah makhluk itu. Saya sudah berniat memakai jilbab sejak aktif di pengajian SMA. Tetapi untuk memakai jilbab, saya perlu perjuangan yang tidak ringan. Karena semua kakak-kakak saya yang laki-laki melarang untuk memakai jilbab. Katanya saya masih kecil. Tetapi ibu mendukung jilbab saya. Ibu hanya bilang bahwa saya boleh pakai jilbab dengan syarat tidak dilepas lagi. Saya ingat, waktu itu bulan maret 1999 ketika saya pertama masuk ke rumah sakit Hasan Sadikin untuk angkat sumpah sebagai perawat yang biasa dilakukan pertama kali bertugas di rumah sakit. Saya langsung memesan pakaian dinas rumah sakit lengan panjang lengkap dengan jilbabnya. Itulah awal saya memakai jilbab setelah mendapatkan dukungan surat dari ibu. Saya sengaja menyimpannya, agar ketika kelak kakak-kakak komplain saya punya kekuatan dengan surat ibu itu. Tapi justru setelah saya memutuskan memakai  jilbab, kakak-kakak ipar saya dan empat saudara kandung saya yang perempuan semuanya memakai jilbab. Rentang mereka jilbab pun hanya tiga bulan setelah saya memakainya. Dakwah saya waktu itu hanya dengan mengirim fhoto kepada kakak-kakak.
Tetapi, ketika saya bercerita tentang yang sering saya lihat kepada kakak yang tinggal serumah, dia malah menertawakan saya. “Sudah pakai jilbab kok masih ketemu yang begituan.”
Setelah itu saya merasa semakin ketakutan, karena tidak ada yang mau percaya cerita saya. Hanya ibu yang mau merespon cerita saya. Ketakutan saya berpengaruh pada kuliah saya. Pada semester pertama, nilai saya anjlok banget bahkan ada mata kuliah yang tidak lulus. Semenjak itu, kakak saya mulai percaya dan memperhatikan saya. Tetapi dia hanya bisa menasehati agar saya memberitahukan masalah ini ke keluarga di Pekanbaru.
Setelah saya memakai jilbab, makhluk itu tidak datang lagi. Saya tetap shalat malam tanpa dibangunkan oleh makhluk itu. Hal itu berjalan hingga satu setengah bulan. Pada suatu malam mahkluk itu muncul lagi. Kali ini, dia mengucapkan kata perpisahan. “Beginilah kamu dan yang berhak melihat kamu nanti adalah suami kamu.”
Setelah mengucapkan kata-kata itu, dia membalikan badan dan pergi menembus dinding. Entah mengapa, saya menangis sampai terisak-isak. Sebenarnya tidak ada persaan tertentu. Saya juga tidak paham mengapa saya menangis.
Kepergian Makhluk Tinggalkan Sakit Luar Biasa Pada Kaki
Kepergian makhluk itu, meninggalkan sakit yang luar biasa di kaki. Sebenarnya saya telah merasakan sakit kaki ini sejak pertama melihat makhluk itu. Hanya saja sakit yang luaar biasa terasa ketika saya mulai tinggal di rumah baru di Cileunyi. Kalau sakit itu muncul, saya tidak bisa mengetahui persis di mana letak sakitnya. Yang jelas rasa sakit itu ada di sekitar lutut sampai pertengahan betis. Rasanya seperti lumpuh dan sakitnya tak tertahankan. Kaki ini seperti di tusuk-tusuk. Kedua kaki saya tidak bisa digerakkan. Saya selalu menangis dan tidak bisa melakukan apa-apa. Biasanya sakit itu berlangsung sampai setengah jam. Bukan hanya itu, kalau digerakkan tulang kaki saya berbunti seperti bunyi kerupuk dimakan.
Rasa sakit itu datang kapan saja. Saat saya di rumah, di kampus, di rumah teman atau sedang tugas di rumah sakit. Kalau di rumah saya bisa langsung masuk kamar. Yang susah, kalau kambuhnya di dalam kelas. Saya langsung izin untuk meninggalkan kelas dan lari ke kamr mandi. Di kamar mandi saya menahan rasa sakit yang luar biasa. Dua kali saya mengalami sakit itu di kampus. Pernah juga  rasa sakit itu datang saat saya berada di rumah teman di daerah sekitar Sumedang. Teman saya bingung, saya hanya menjawab mungkin kekurangan kalsium.
Semester kedua, saya sempat pingsan di kampus. Saat itu dalam penglihatan saya, ibu dosen yang sedang menjelaskan di depan kelas dalam posisi terbalik, kakinya di atas dan kepalanya di bawah. Karena dosen saya dalam posisi terbalik seperti itu, maka saya pun beberapa kali memiringkan kepala untuk mengimbanginya. Teman saya dari Aceh bertanya, “Ada apa Den?” Saya jawab, “Tahu tuh ibu, kebalik-balik.” Mendengar jawaban saya, dia melihat saya keheranan, “Ini anak sadar nggak sih?” Hanya itu yang saya ingat dan setelah itu saya tidak sadarkan diri.
Saya dilarikan ke rumah sakit dalam keadaan tidak sadarkan diri. Menurut analisa dokter saya mengidap penyakit Hipokalsemia (Kekurangan kadar kalsium dalam darah), waktu itu kadar kalsium memang rendah, hanya 3,8 mgr/dl padahal normalnya adalah 11 mgr/dl. Saya sempat memberitahukan dokter tentang nyeri yang luar biasa pada kaki saya. “Oh iya pantas, kamu ini kekurangan kalsium.” Kemudian dokter memberikan suntikan kalsium. Reaksinya cepat terlihat. Kalsium saya tinggi kembali. Tapi anehnya, kaki saya tetap sakit padahal kalsiumnya sudah normal kembali.
Yang sulit buat saya adalah tidak tempat bercerita. Hanya teman akrab saya yang dulu bersama-sama ujian masuk ke UI dan dia diterima di UI. Kita sering telepon. Hanya saja Allah cepat memanggilnya. Dia sakit penyumbatan pada pembuluh darah. Lagipula, saya tidak mau bercerita tentang penyakit saya kepada orang lain. Takut dikatakan orang penyakitan.
Setelah pemeriksaan dokter itu, saya tidak puas. Dua bulan setelah itu, saya memutuskan untuk general chek up di sebuah klinik di daerah Cibiru. Ternyata hasilnya normal. Akhirnya saya hanya bisa pasrah dengan sakit di kaki saya ini. Saat saya KKN di daerah Majalengka rasa sakit di kaki sering kambuh. Kemudian saya minta pindah dan mendapatkan daerah di Sumedang. Sakit di kaki saya terus berlanjut. Saya hanya bisa pasrah.
Sampai akhirnya saya lulus bulan November tahun 2000. Pada bulan Desember, saya kembali ke Pekanbaru. Kakak nomor dua yang tinggal di Batam mengajak saya jalan-jalan liburan ke Cina, Hongkong, Thailand dan Malaysia. Tetapi saya tidak menikmati sama sekali perjalanan itu, karena rasa sakit di kaki yang luar biasa. Saya tidak menceritakannya kepada kakak. Kalau sakit itu datang, saya hanya meringis untuk menahan agar jangan sampai menangis. Saya tidak ingin mengecewakan kakak yang telah mengajak saya. Dari foto-foto perjalanan bisa dilihat dari wajah saya, betapa saya menahan rasa sakit.
Pertengahan  Januari saya sudah sampai di Indonesia lagi. Seminggu setelahnya, kakak yang nomor enam menikah. Saat kakak melangsungkan akad nikah, rasa sakit pada kaki kembali kambuh. Tadinya saya pikir ini karena kecapekan. Saya memang baru sehari ini sampai. Ibu yang mengetahui sakit saya, tidak terlalu khawatir. Dan penyakit itu pergi dengan sendirinya.
Awal Februari, saya dipanggil interview untuk kerja di Akper Muhammadiyah. Sepulang dari interview, saya kembali kesakitan. Ibu berkata, “Paling kamu terlalu lama duduk dan menunggu, apalagi kamu nyetir mobil sendiri.” Saya pun tidak ke dokter lagi karena sudah hopeles.
Alhamdulillah saya diterima sebagai tenaga pengajar. Kambuh pertama setelah bekerja tejadi pada bulan Mei. Sakit yang sangat luar biasa samapai saya hanya bisa menangis. Saat itulah ibu baru ngeh bahwa ada sesuatu pada diri saya. Abang-abang menyarankan agar saya dibawa ke rumah sakit untuk rontgen. Tapi ternyata hasilnya bagus.
Sampai akhirnya, teman kerja saya di Akper bercerita bahwa dia punya kenalan yang pernah berobat ke orang pintar di daerah Bangkinang. Orang itu menyebutnya Pak Haji dan masih berumur sekitar 35 tahun. Dan saya pun diajak untuk sekedar melihat praktik Pak Haji.
Sesampainya di tempat praktiknya, saya melihat antrian orang. Metode pengobatannya dengan cara menggigit bagian yang sakit dari tubuh. Jika ada kanker rahim misalnya maka perut pasien itu digigit dan dari mulut si orang pintar itu keluar bongkahan-bongkahan daging. Ketika dia melihat saya, dia langsung bilang, “Kamu harus digigit kakinya, tapi harus izin orangtua dulu.” “Nggaak …!” teriak saya. Saya ketakutan melihat pemandangan pengobatan yang langsung saya saksikan dengan mata kepala sendiri. Ada orang yang katanya terkena pelet, digigit lehernya dan keluar paku. Terus digigit punggungnya keluar ulat. “Saya nggak sakit, Pak Haji.” Kata saya sambil menghindar keluar dari ruangan.
Sampai di rumah, saya ceritakan pengalaman seharian itu kepada ibu. Ibu langsung marah. Akhirnya saya pergi ke abang saya yang ketiga. “Nantilah kita lihat kebenarannya,” kata abang. Abang saya selanjutnya mencari berita tentang Pak Haji itu. Dia pun mendapatkan berita dari temannya. Katanya kepada saya, “Dena, Pak Haji itu punya jin, dan yang keluar dari mulutnya itu buatan jinnya.” “Berarti nggak benar ya, Bang?” “Nggak.”
Teman abang saya itu menyarankan agar saya pergi ke tempat lain saja yang katanya bebas dari jin dan sesuai dengan Islam. Orang yang akan didatangi itu kerjaan sehari-harinya sebagai tukang parkir di pasar. Malam itu, abang musyawarah dengan ibu dan baapak. “Ya udah, coba aja,” kata bapak memberi izin.
Akhirnya kami pergi bertiga, saya, ibu dan abang. Selepas Maghrib, kami berangkat. Perjalanan cukup jauh. Baru kira-kira pada pukul 20.00 kita sampai di rumah orang itu. Tampak sangat sederhana. Seorang bapak kelaur dengan badan agak kurus memakai celana panjang dan hanya menggunakan kaos. Kami dipersilakan masuk. Begitu masuk rumahnya, bapak itu bertanya-tanya tentang maksud kedatangan kami. Abang yang menceritakan kasus saya. “Ya, kita coba yah. Saya tidak mengobati, tetapi semuanya tergantung yang di atas.”
Dia kemudian masuk ke dapur. Tak lama kemudian keluar sambil membawa sebuah piring dan batu yang diletakkan di atas piring. Mulutnya komat-kamit. Saya hanya mendengar basmallah dan al-Fatihah. Selanjutnya dia berkomat-kamit tanpa bisa saya dengar. Matanya menatap tajam batu itu sambil berkata, “Dena, kamu dulu pernah tinggal di sebuah tempat yang depannya ada sungai, kenun di belakang. Rumahnya berbentuk panggung dan bertingkat.” Saya memang pernah tinggal di tempat seperti itu pada saat KKN di Padang tahun 1997. Selanjutnya dia menjelaskan, “Kaki Dena ini sakit karena pernah melangkahi kuburan dan jinnya marah.” Saya mengulang kembali ingatan, saat-saat itu dan teringat bahwa saya pernah kesurupan waktu itu. Ketika itu saya disembuhkan oleh seorang nenek.
Ibu yang sedari tadi hanya mendengar mulai muncul kekhawatirannya, “Terus bagaimana ini Pak?” “Ya, kita obati.” Dia memberikan resep agar kita membuatnya sendiri dari tawas, jahe dan timun suri. Timun suri diparut dan dicampur dengan tawas serta jahe yang telah dihancurkan. Setelah diperas kemudian dibalurkan di kaki pada malam hari. Semua itu harus dilakukan selama empat puluh hari setiap malam. Seminggu pertama, sempat terasa enak. Yang saya rasakan selama dibaluri adalah dingin. Tetapi hari setelahnya rasa sakit itu datang lagi. Ibu pun menelepon tukang parkir itu, “Terusin saja sampai habis empat puluh hari,” nasehatnya.
Empat puluh hari berakhir, dia datang dan menanyakan keadaan saya. Saya jawab saja bahwa penyakitnya tidak berkurang. “Ya udah, kalau gitu saya harus pergi dulu mencari obatnya.” Beberapa hari kemudian dia datang lagi dengan membawa daun-daun kering untuk diseduh dan kemudian diminum. Saya pun melakukannya. Ternyata juga tidak banyak bermanfaat, padahal pengobatan kedua ini juga dilakukan sebanyak empat puluh hari.
Saya mulai bosan. Delapan puluh hari sudah saya tersiksa dengan cara pengobtan seperti itu. Saat itu dia datang menasehati agar saya tidak bosan dan meneruskan proses pengobatan. Dia berbisik pada ibu, “Sebetulnya, entah bagaimana Dena ini dibuntuti terus oleh dua jin laki dan perempuan …” “Kalau mau sembuh, kita harus tanya apa maunya dua jin itu. Caranya Dena harus bangun malam hari kemudian mengaji sendiri dalam keadaan gelap dan hanya boleh ada lilin untuk baca. Nanti dia hadir dalam ruangan itu.” Saya langsung membayangkan betapa menakutkan dan saya pun menolak. “Ya udahlah Pak, jangan dipaksa kalau tidak mau,” pinta ibu saya. “Tapi kalau begini terus dia nggak akan sembuh. Dua jin itu baik kok,” katanya meyakinkan. Tapi saya tetap bersikukuh untuk tidak melakukannya. Setelah itu saya tidak pernah melakukan pengobatan sama sekali. Dalam hati saya hanya berkata, kalau sembuh ya akan sembuh kalau tidak saya pasrah saja.
Jumpa Ruqyah di Australia Selatan
Bulan Juni 2004 saya berangkat ke Adelaide, Australia. Waktu itu musim dingin. Dan kaki saya lagi-lagi tidak bisa digerakkan. Saya periksa kepada seorang dokter asli Australia di Adelaide. Tetapi dia tidak menyarankan saya untuk rontgen dan hanya melakukan pemeriksaan lab saja. Hasil pemeriksaan dinyatakan normal.
Sampai akhirnya Allah mempertemukan saya dengan Tim Ruqyah dari Majalah Ghoib dalam acara Seminar dan Ruqyah Massal. Setelah mengikuti seminar dan dijelaskan tentang perdukunan, saya merasa bersalah. Berarti selama ini saya pernah datang ke dukun. Selanjutnya saya putuskan untuk minta diruqyah karena sampai malam sebelum diruqyah pun saya kaki saya masih terasa sakit.
Ruqyah dilaksanakan di rumah salah satu mahasiswa Indonesia yang juga sedang mengambil S2. Ketika itu yang diruqyah ada dua orang. Saya dan seorang teman perempuan yang sebentar lagi akan menyelesaikan studinya. Di sebuah ruangan yang cukup luas dengan diantar suami, saya menunggu giliran diruqyah. Karena yang pertama diruqyah adalah teman saya itu. Saya menunggu di ruangan yang sama. Tetapi ketika ayat-ayat ruqyah dibacakan untuk teman saya, justru saya yang mulai bereaksi. Ustadz Achmad Junaedi, akhirnya menangani dua orang sekaligus. Kedua kaki saya tiba-tiba terangkat dengan sendirinya. Saya merasakan panas sepanjang kaki dan sakit sperti ditusuk-tusuk. Seterusnya, ada yang menjalar di tubuh saya dan rasa sakit yang tak tertahankan. Sampai saya berguling-guling dua kali dan mau menendang Ustadz yang meruqyah. Rasa sakit itu menjalar, terus berhenti di pangkal paha dan setiap berhenti terasa sakit. Kemudian berjalan lagi terus dan terus hingga sampai di leher dan kemudian saya muntah. Saya setengah tidak sadarkan diri. Menurut taman saya, ketika ustadz bertanya, “Ini siapa?” saya hanya menjawab
“Eh…eeehhh…” dengan suara yang bukan suara saya.
Setelah muntah itu, kaki saya langsung terasa ringan, alhamdulillah. Hanya saya merasakan badan saya lelah sekali seperti habis melakukan pekerjaan berat. Semoga Allah memberikan kesembuhan ini selamanya. Amien.
(Sumber  www.ghoibruqyah.com )

0 komentar:

Posting Komentar