Ijazah merupakan suatu tindakan yang sudah sangat umum bagi sebagian
besar pencinta dan pelaku spiritual dari berbagai kalangan, khususnya
bagi para spiritualis dari kaum Muslim. Baik ketika ingin menerima suatu
amalan Hizib, Asma’, Isim dan berbagai amalan spiritual lainnya pasti
seseorang akan meminta terlebih dahulu Ijazah akan ilmu spiritual
tersebut kepada ahlinya.
Namun, hingga kini masih banyak para
spiritualis awam yang masih bertanya – tanya di dalam hati mereka.
Kenapa suatu ilmu spiritual mesti memiliki Ijazah yang jelas ? Siapa
saja yang bisa memberikan Ijazah suatu amalan dan ilmu ? Bagaimanakah
adab dan tatakramah di dalam memberi dan menerima Ijazah ? Dan berbagai
pertanyaan lainnya seputar Ijazah.
Secara garis besar, Ijazah
adalah suatu tindakan berisyarat pemberian hak / izin suatu amalan dan
ilmu spiritual dari seorang yang ahli (Guru) kepada seorang Murid.
Sedangkan secara khusus pengertian Ijazah adalah pemberian hak suatu
amalan dan penanaman benih suatu ilmu dari ruh seorang Guru ke dalam ruh
seorang Murid tanpa terikat di dalam suatu tindakan kewajiban dan
khidmat.
Menurut beberapa ulama dari kaum sufi, hukum Ijazah
dalam suatu amalan dan ilmu adalah wajib. Karena setiap ilmu dan amalan
apa pun tidak boleh dipelajari tanpa adanya bimbingan seorang guru yang
ahli dalam bidang tersebut. Apalagi pembelajaran ilmu spiritual pastilah
berhubungan erat dengan suatu perkaran yang bersifat ghaib. Sehingga
sangat riskan dari berbagai godaan dan tipu daya setan. Apalagi setan
sangat ahli dalam meniru wajah dan rupa para malaikat, para Wali Allah,
para ulama dan para orang – orang sholeh, kecuali rupa Rasulullaah
Muhammad S.A.W.
Seperti kisah Abu Nahar yang mengamalkan berbagai
amalan dan wirid – wirid dari berbagai Kitab ilmu tanpa adanya Ijazah
dari seorang guru yang masih hidup. Setelah mengamalkan lebih dari 20
tahun, selama itu pula ia sering mengalami berbagai peristiwa ghaib yang
menurutnya adalah benar. Seperti selalu dijaga 7 malaikat penjaga suatu
Asma’, mendapat bimbingan khusus secara ghaib dari seorang ruh Wali
Allah, bertemu dengan khodam penjaga Surat Al – Fatihah dan Al – Ikhlas
dan berbagai pengalaman ghaib lainnya. Suatu hari ketika berdagang ke
Irak, tanpa sengaja ia berpapasan dengan Ahlul Wilayah Irak saat itu
Syaikh Aqil Al – Munbaji R.A. Syaikh Aqil Al – Munbaji pun memanggilnya
dan berkata kepadanya, “Wahai Abu Nahar, apakah yang engkau amalkan
selama 20 tahun ini ?” Abu Nahar menjawab, “Yang aku amalkan hanyalah Al
– Fatihah dan Al – Ikhlas beserta doanya dan apa yang terdapat di dalam
Kitab Nuuan.” Syaikh Aqil pun menengadahkan kepalanya ke arah langit
dan berkata : “Janganlah sekali – kali kamu dapat ditipu oleh setan
sebagaimana ia telah mengeluarkan kedua ibu bapakmu dari surga, ia
menanggalkan dari keduanya pakaiannya untuk memperlihatkan kepada
keduanya auratnya. Sesungguhnya ia dan pengikut-pengikutnya melihat kamu
dari suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka (Q.S. Al – A’raf :
27).” Seketika itu pula ia (Abu Nahar) terjatuh tak sadarkan diri
ditanah, lalu Syaikh Aqil mengusap wajahnya, memukul dadanya dan
mengatakan sesuatu yang tidak bisa dipahami oleh orang – orang
sekitarnya dan lalu pergi meninggalkannya.
Ketika kembali sadar,
beberapa orang menghampirinya dan bertanya kepadanya, “Wahai Abu Nahar,
apa yang dilakukan oleh Syaikh Aqil tadi untuk mu ?” Abu Nahar pun
menjawab, “Ketika ia (Syaikh Aqil) menatap langit, sesungguhnya aku
melihat para malaikat turun membawa Nur (cahaya). Lalu Syaikh Aqil
mengambilnya dan memasukkannya ke dalam pikiranku. Maka terlihatlah
olehku apa yang ada di ujung barat hingga ujung timur. Lalu ia memukul
keluar apa yang setan tanam di dalam hatiku dan menggantinya dengan
benih – benih Mahabbah. Kemudian Syaikh Aqil berkata kepadaku, “Wahai
Abu Nahar, janganlah engkau mencari cinta – Nya dengan ada tujuan
maksud, karena setiap langkah nafsu pasti diikuti oleh setan.
Sesungguhnya batas perbedaan antara yang haq dan yang batil adalah
segaris benang tipis, dan apa yang engkau peroleh selama ini adalah
sesuatu yang batil. Dan janganlah mempelajari sesuatu amalan tanpa
adanya perhatian (bimbingan) dari seorang Syaikh (Guru).”
Dari
kisah di atas kita dapat mengambil pelajaran betapa besarnya sosok
seorang guru dan Ijazahnya di dalam mengamalkan suatu ilmu spiritual.
Tanpa bimbingan dari seorang guru, maka sangat riskan bagi seseorang
yang mengamalkan suatu ilmu spiritual dari godaan tipu daya setan yang
ingin menyesatkan hatinya.
Selain itu menurut Syaikh Abu Thalib
Al – Makki R.A, setiap ilmu spiritual pastilah mempunyai kedudukannya
sendiri di sisi Allah S.W.T. Maka untuk bisa menguasai ilmu spiritual
itu secara sempurna, dibutuhkan bantuan seorang yang sudah sampai
derajat maqamnya pada ilmu tersebut. Dalam hal inilah izin (Ijazah)
seorang guru yang sudah sampai pada derajat keilmuan itu dibutuhkan,
agar si murid dapat menguasai ilmunya secara sempurna. Namun jika tidak
memperoleh suatu Ijazah dari seorang guru yang menjadi ahli dalam ilmu
spiritual tersebut, maka pastilah si murid akan sangat kesulitan untuk
menguasai ilmunya.
Secara garis besar Syaikh Abu Thalib Al – Makki R.A membagi Ijazah suatu amalan spiritual atas 4 macam bagian, yaitu :
1. Ijazah Al – Fahaamu, yaitu suatu tindakan pemberian Ijazah dari
seorang ahli waris suatu amalan / ilmu spiritual kepada seorang murid
tanpa adanya proses ikatan ruh dari keduanya. Tugas utama dari seorang
ahli waris dalam hal ini adalah memberikan pemahaman akan suatu ilmu dan
amalan spiritual kepada seorang murid yang telah diberikannya Ijazah.
Umumnya Ijazah ini diberikan oleh seseorang ahli waris suatu ilmu, yang
ahli waris itu sendiri belum sempurna mengamalkan apa yang telah di
Ijazahkannya kepada orang lain. Sehingga setelah diberi Ijazah, seorang
murid masih harus mengamalkan segala tuntutan amalan ilmu spiritual
mulai dari awal kembali. Seperti masih harus menjalani puasa, wirid dan
bertapa. Namun tak sedikit murid yang mempelajarinya gagal di dalam
mengamalkan ilmu tersebut, karena tidak adanya penanaman benih ilmu dari
ahli waris yang memberikan. Ijazah Al – Fahaamu ini umumnya hanya dapat
diberikan oleh seorang Ahli Hikmah yang masih terikat dalam suatu
majelis Thariqat, yang ia sendiri belum “lepas” dari wilayah Syaikh dari
Thariqat itu sendiri.
2. Ijazah At – Ta’liimu, yaitu suatu
tindakan pemberian Ijazah dari seorang guru dengan penanaman benih suatu
ilmu kepada muridnya. Tugas utama dari seorang guru dalam hal ini
adalah memberikan pemahaman dan pembelajaran akan suatu ilmu dan amalan
spiritual kepada seorang murid yang telah diberikannya Ijazah. Umumnya
Ijazah ini diberikan oleh seorang guru, yang ia sendiri sudah sempurna
di dalam mengamalkan ilmu spiritual yang akan di Ijazahkannya. Sehingga
setelah diberi Ijazah, seorang murid hanya perlu mengamalkan sebagian
tuntutan amalan ilmu spiritual saja. Biasanya si murid hanya perlu
mengamalkan suatu amalan wirid – wirid tertentu tanpa harus menjalani
proses puasa dan bertapa. Dalam hal ini sangat jangan ada seorang murid
yang gagal dalam mempelajari ilmu spiritualnya, karena sudah adanya
benih ilmu yang ditanamkan oleh seorang guru untuk menjadi modal bagi
keberhasilannya di dalam beramal. Ijazah At – Ta’liimu ini umumnya hanya
dapat diberikan oleh seorang Ahli Hikmah yang sudah “lepas” dari ikatan
suatu majelis Thariqat, namun ia sendiri masih berada di dalam wilayah
Syaikh dari Thariqatnya.
3. Ijazah Al – Isyraafu, yaitu suatu
tindakan pemberian Ijazah ilmu dan amalan spiritual dari seorang guru
ahli kepada seorang murid dengan penanaman benih dan ikatan ruh dari
keduanya. Tugas utama dari seorang guru dalam hal ini adalah memberikan
pemahaman, pembelajaran serta pengamawasan khusus akan suatu ilmu dan
amalan spiritual kepada seorang murid yang telah diberikannya Ijazah.
Umumnya Ijazah ini diberikan oleh seorang guru yang sudah benar – benar
ahli di dalam bidang ilmu spiritual yang akan di Ijazahkannya. Sehingga
setelah diberi Ijazah, seorang murid hanya perlu mempertajam amalan ilmu
spiritualnya saja dengan amalan wirid – wirid tertentu tanpa harus
mempelajarinya kembali dari awal sedikit pun. Dalam hal ini hampir
setiap murid yang diberikannya Ijazah mampu menjadi seorang guru pula
dan memiliki hak untuk menjadi seorang ahli waris dalam ilmu spiritual
tersebut, karena sudah adanya ikatan antara ruh dari seorang guru ahli
dengan ruh murid yang menerima Ijazah. Ijazah Al – Isyraafu ini umumnya
hanya dapat diberikan oleh seorang Syaikh yang telah mewarisi suatu
majelis Thariqat, namun masih belum memiliki wilayahnya sendiri dan
masih bernaung di dalam wilayah Syaikh Akbar dari Thariqatnya.
4.
Ijazah At – Tariitsu, yaitu suatu tindakan pemberian Ijazah ilmu dan
amalan spiritual dari seorang guru agung kepada seorang murid dengan
penanaman inti kegairahan dan ikatan lahir batin dari keduanya. Tugas
utama dari seorang guru dalam hal ini adalah memberikan pemahaman,
pembelajaran, pengawasan serta pewarisan akan suatu ilmu dan amalan
spiritual secara khusus kepada seorang murid yang telah diberikannya
Ijazah. Umumnya Ijazah ini diberikan oleh seorang guru yang sudah
memperoleh kedudukan (maqam) yang agung dan kekuasaan Azimah di dalam
bidang ilmu spiritual yang akan di Ijazahkannya. Sehingga setelah diberi
Ijazah, seorang murid akan langsung memiliki ilmu spiritual secara
sempurna tanpa harus lagi mempelajari dan mempertajam ilmu tersebut
sedikit pun. Sehingga si murid bisa benar – benar fokus di dalam
mendekatkan diri kepada Tuhannya (Allah S.W.T) tanpa harus mengharapkan
apa pun lagi. Dalam hal ini hampir setiap murid yang diberikannya Ijazah
mampu menjadi seorang guru dan guru ahli yang benar – benar sempurna di
dalam ilmu spiritualnya, karena sudah adanya penanaman inti kegairahan
di dalam jiwa si murid yang menerima Ijazah. Ijazah At – Tariitsu ini
umumnya hanya dapat diberikan oleh seorang Syaikh yang telah memiliki
suatu majelis Thariqat khusus, dan sudah memiliki wilayahnya sendiri
serta menjadi Syaikh Akbar di dalam Thariqatnya.
Seiring
perkembangan zaman, sebagian besar Ahli Hikmah dan Ahli Spiritual yang
aktif di dalam suatu Yayasan, Padepokan atau pun Perguruan spiritual
lebih memilih menggunakankan kecanggihan zaman, seperti media buku,
internet dan telepon di dalam pengijazah suatu ilmu spiritualnya melalui
Ijazah Al – Fahaamu dan Ijazah At – Ta’liimu. Karena hanya Ijazah Al –
Fahaamu dan Ijazah At – Ta’liimu saja yang dapat dilakukan tanpa adanya
pertemuan langsung antara seorang guru dengan seorang murid. Sedangkan
untuk para Ahli Majelis Thariqat, mereka masih memilih memakai adat lama
di dalam pemberian Ijazah Al – Isyraafu dan Ijazah At – Tariitsu. Yaitu
pemberian Ijazah secara langsung melalui pertemuan secara fisik di
dalam suatu majelis tanpa adanya penghalangan dan perantara apa pun di
antara keduanya (guru dan murid). Namun khusus untuk Ijazah At –
Tariitsu biasanya akan dimulai dengan proses Bai’at bagi si murid
penerima Ijazah terlebih dahulu, agar adanya ikatan khusus antara ia dan
Syaikh Akbar di dalam majelis Thariqat itu.
Menurut Syaikh Imam
Muhyiddin Ma’rifatullaah, pengijazahan suatu ilmu spiritual melalui
jalur Ijazah At – Tariitsu secara sempurna hanya dapat dilakukan oleh
seorang Ahlul Wilayah (Wali Allah yang bertugas menjaga suatu wilayah /
daerah) yang sudah memiliki hak untuk itu atau oleh yang lebih tinggi
kedudukan (derajat kewaliannya) dari seorang Ahlul Wilayah. Karena hanya
seorang Ahlul Wilayah yang diberi hak kekuasaan atas suatu Azimah di
daerahnya dan diberi hak pula untuk menanamkan Azimah itu ke dalam jiwa
orang yang akan di Bai’atnya. Sehingga orang itu akan memperoleh suatu
keistimewaan (karomah) dan tidak perlu lagi mengamalkan apa pun untuk
suatu tujuan khusus, melainkan hanya tinggal fokus untuk beribadah
secara ikhlas kepada Rabb (Tuhan) nya.
Sedangkan menurut Maulana
Muhammad Ali Akbar dan para ulama sufi lainnya, pengijazahan suatu ilmu
spiritual melalui jalur Ijazah Al – Fahaamu dan Ijazah At – Ta’liimu
tanpa adanya pertemuan langsung antara si guru dan si murid adalah sah
dan diperbolehkan jika adanya pengucapan pemberian Ijazah baik secara
lisan mau pun tulisan dari si guru kepada si murid dan jawaban tanda
terima Ijazah dari si murid di dengar langsung oleh si guru baik secara
lisan mau pun tulisan pula. Jadi dengan demikian, jika setelah diberi
Ijazah si murid memberikan jawaban yang sampai langsung kepada si guru,
maka Ijazah itu dinyatakan sah dan dibenarkan. Namun jika setelah diberi
Ijazah si murid hanya menjawabnya di dalam hati atau bahkan tidak
membalasnya sama sekali, maka Ijazah itu dinyatakan tidak sah dan tidak
dibenarkan di dalam pengamalannya.
Jadi jika ditelaah, maka sudah
sangat banyak para pecinta spiritual saat ini yang hanya menerima
sebuah Ijazah kosong tanpa makna dan isi dari seseorang pelaku spiritual
yang masih benar – benar awam di dalam pengetahuan spiritualnya. Karena
tidak sesuai dengan tata laku pemberian dan penerimaan Ijazah yang
benar menurut hukumnya dan juga tak sedikit dari mereka tahu akan jenis
serta kedudukan Ijazah yang diberikannya. Inilah salah satu penyebab
terbesar kegagalan para pecinta spiritual saat ini di dalam mengamalkan
dan mendalami suatu ilmu spiritual yang telah diterimanya dari seorang
pelaku spiritual yang masih awam.
Dalam adab pemberian dan
penerimaan suatu Ijazah, hampir sebagian besar kaum sufi sepakat bahwa
sebaik – baik pemberian suatu Ijazah didahului dengan sholat sunnah 2
raka’at antara si guru dan si murid. Kemudian dilanjutkan oleh si guru
dengan pengucapakan 2 kalimat Syahadat, Sholawat Nabi, Istighfar, Surat
Al – Fatihah, Isi Ijazah, Sholawat Nabi Khusus dan ditutup dengan
kalimat Tahlil dan Takbir beberapa kali. Sebaik – baik Isi Ijazah adalah
dengan menyertai nama dan nama ayah si penerima Ijazah di dalam awal
pengucapannya. Selanjutnya adalah tugas si murid penerima Ijazah untuk
menjawab / membalas penyampaian Ijazah dari si guru dengan mengucapkan
Tahmid dan kalimat Tanda Terima, dilanjutkan dengan Sujud Syukur dan
ditutup dengan Doa Khusus bersama si guru pemberi Ijazah. Akan lebih
baik lagi jika setelah itu si murid menutup semuanya dengan sholat
sunnah 2 raka’at sebagai tanda syukurnya telah diberi Ijazah suatu ilmu
dan amalan spiritual.
Proses suatu Ijazah sangat berbeda dengan
proses suatu Bai’at (kecuali Ijazah At – Tariitsu), karena dalam hukum
Ijazah seorang murid tidak diwajibkan untuk berkhidmat dengan gurunya.
Sedangkan dalam hukum Bai’at seorang murid diwajibkan untuk berkhidmat
dan patuh dengan gurunya hingga batas waktu tertentu. Selain itu dalam
Ijazah, seseorang diperbolehkan untuk memperoleh dan meminta Ijazah akan
suatu ilmu spiritual dengan lebih dari seribu orang guru sekali pun,
kecuali untuk Ijazah At – Tariitsu. Sedangkan dalam Bai’at, seseorang
hanya diperbolehkan berbai’at dengan satu orang guru saja seumur
hidupnya dan tidak boleh berbai’at dengan guru yang lain hingga ia sudah
benar – benar lepas dari Bai’at guru yang pertamanya. Namun dari segi
kedudukan, maka jauh lebih mulia seorang murid yang dibai’at dari pada
seorang murid yang diberi Ijazah di sisi Alllah S.W.T.
Di dalam
kehidupan spiritual, minimal seseorang harus sudah memiliki seorang guru
yang telah memberikan Ijazah Al – Isyraafu suatu ilmu kepada dirinya.
Karena dengan begitu maka akan ada ikatan khusus dari si guru kepada ruh
si murid yang tidak akan mampu dilepas oleh makhluk lain, bahkan
setelah gurunya wafat sekali pun. Sehingga si murid akan selalu
terbimbing secara ruhani dan dijaga oleh si guru dari segala macam tipu
daya setan di dalam pengawasannya. Selain itu, umumnya ikatan secara ruh
tersebut juga akan bersambung baik secara sadar atau pun tidak sadar
dengan ruh – ruh para penghulu dari sanad ilmu spiritual yang diberikan
si guru itu sendiri. Jika sanad keilmuan spiritual si guru bersambung
hingga ke Rasulullaah Muhammad S.A.W, maka sampai pulalah sanad si murid
tersebut kepadanya (Rasulullaah Muhammad S.A.W). Menurut Maulana
Muhammad Ali Akbar, dalam kehidupan spiritual hanya guru yang memberikan
Ijazah Al – Isyraafu atau guru yang membai’atnya sajalah yang pantas ia
sebut guru jika ada seseorang yang bertanya siapa gurunya. Karena hanya
guru yang memberikan Ijazah Al – Isyraafu dan Ijazah At – Tariitsu yang
menjalin hubungan ruhani dengan si murid selama – lamanya, bahkan
hingga di akhirat kelak. Sedangkan para guru yang memberikan Ijazah Al –
Fahaamu dan Ijazah At – Ta’liimu lebih termasuk ke dalam golongan
kerabat, karena hanya memberikan pengetahuan tanpa menggurui si murid
secara menyeluruh.
Seperti kisah Maulana Muhammad Hamzah yang
bertamu ke tempat uzlah Syaikh Mawlana Ibrahim. Ketika baru bertemu
Syaikh Mawlana Ibrahim pun langsung bertanya kepadanya, “Wahai Hamzah,
siapa guru mu ?” Maulana Hamzah pun menjawab, “Belum pernah ada yang
membai’atku Syaikh.” Lalu Syaikh Mawlana Ibrahim pun menundukkan
kepalanya sejenak dan mengangkatnya kembali sambil berkata, “Bukankan
engkau sudah memperoleh Ijazah dari Syaikh Abdul Ghafur Al – Yaasin ?”
Maulana Hamzah pun menjawab, “Benar, tapi beliau sudah lama meninggal
dunia.” Maka Syaikh Mawlana Ibrahim pun berkata, “Dialah (Syaikh Abdul
Ghafur Al – Yaasin) guru mu dan sanad engkau bersambung dengan sanadnya,
dan tak akan putus hingga kapan pun.”
Yang masih menjadi
perdebatan hingga kini adalah hukum mengenai pembayaran sedekah atau
mahar dari si murid kepada si guru di dalam menerima suatu Ijazah. Ada
beberapa ulama sufi yang berpendapat bahwa hal itu adalah sah,
sebagaimana hukum biaya pendidikan di dalam suatu universitas. Namun ada
juga sebagian lagi yang menyatakan bahwa hal itu tidak diperbolehkan.
Namun khusus untuk Ijazah At – Tariitsu seluruh ulama sufi sepakat bahwa
tidak dibenarkan untuk sesuatu yang berbau mahar di dalamnya.
Dengan mengetahui dan memahami jenis – jenis dari Ijazah ini, Insya
Allah kita semua bisa mengetahui pula seberapa besar kualitas ilmu
spiritual yang diberikan kepada kita. Sehingga kita hanya tinggal perlu
mengamalkannya sesuai dengan kadar ilmu yang diberikannya. Selain itu
kita juga dapat mengetahui mana guru yang benar – benar memberikan
Ijazah ilmunya dan mana guru yang hanya memberikan suatu Ijazah kosong
tanpa isi.
0 komentar:
Posting Komentar