LARANGAN MENCELA SEORANG MUSLIM YANG SUDAH BERTAUBAT DARI DOSA MAKSIATNYA

Terkadang ada saudara kita yang melakukan dosa atau maksiat, kemudian menjadi bahan perbincangan atau ghibah. Padahal bisa jadi pelaku dosa tersebut sudah bertaubat dari dosa tersebut.
Mengenai hal ini, mari kita perhatikan nasihat dari beberapa ulama, yaitu orang yang menjelek-jelekkan saudaranya yang sudah bertaubat dari dosa, bisa jadi dia akan melakukan dosa tersebut.
Misalnya, ada teman kita yang ketahuan selingkuh atau berzina, maka kita pun heboh membicarakannya bahkan mencela serta terlalu banyak berkomentar dengan menerka-nerka saja. Hal ini sebaiknya dihindari, sikap muslim adalah diam, menasihati dengan cara empat mata, dan berharap kebaikan pada saudaranya terlebih ia sudah menyesal dan mengaku salah.
Syaikh al-Mubarakfuri menjelaskan,
“Bisa jadi ia terjerumus dalam dosa yang sama karena ada faktor kagum terhadap dirinya sendiri, sombong dan mensucikan diri. Seolah dia berkata kamu kok bisa terjerumus dalam maksiat/dosa itu, lihatlah aku, sulit terjerumus dalam dosa itu. Tentu ini bentuk kesombongan yang nyata dan sangat merendahkan orang lain”.
Beliau berkata,
ﻳُﺠَﺎﺯَﻯ ﺑِﺴَﻠْﺐِ ﺍﻟﺘَّﻮْﻓِﻴﻖِ ﺣَﺘَّﻰ ﻳَﺮْﺗَﻜِﺐَ ﻣَﺎ ﻋَﻴَّﺮَ ﺃَﺧَﺎﻩُ ﺑِﻪِ ﻭَﺫَﺍﻙَ ﺇِﺫَﺍ ﺻَﺤِﺒَﻪُ ﺇِﻋْﺠَﺎﺑُﻪُ ﺑِﻨَﻔْﺴِﻪِ ﻟِﺴَﻼﻣَﺘِﻪِ ﻣِﻤَّﺎ ﻋَﻴَّﺮَ ﺑِﻪِ ﺃَﺧَﺎﻩُ
“Dibalas dengan memberikannya jalan hingga ia akan melakukan maksiat yang ia cela yang dilakukan oleh saudaranya. Hal tersebut karena ia sombong/kagum dengan dirinya sendiri karena ia merasa selamat dari dosa tersebut”.
(lihat Tuhfatul Ahwadzi [7/173])
Demikian juga Ibnul Qayyim menjelaskan bahwa menjelek-jelekkan saudaranya yang telah melakukan dosa, maka bisa jadi ia akan melakukan dosa tersebut.
ﻭَﻛُﻞُّ ﻣَﻌْﺼِﻴَﺔٍ ﻋُﻴِّﺮَﺕْ ﺑِﻬَﺎ ﺃَﺧَﺎﻙَ ﻓَﻬِﻲَ ﺇِﻟَﻴْﻚَ ﻳَﺤْﺘَﻤِﻞُ ﺃَﻥْ ﻳُﺮِﻳْﺪَ ﺑِﻪِ ﺃَﻧَّﻬَﺎ ﺻَﺎﺋِﺮَﺓٌ ﺇِﻟَﻴْﻚَ ﻭَﻻَ ﺑُﺪَّ ﺃَﻥْ ﺗَﻌْﻤَﻠَﻬَﺎ
“Setiap maksiat yang dijelek-jelekkan pada saudaramu, maka itu akan kembali padamu. Maksudnya, Engkau bisa dipastikan melakukan dosa tersebut”.
(lihat Madarijus Salikin [1/176])
Beliau melanjutkan penjelasan bahwa dosa mencela saudaranya yang telah melakukan dosa itu lebih besar dari dosa yang dilakukan oleh saudaranya.
Beliau berkata,
ﺃﻥ ﺗﻌﻴﻴﺮﻙ ﻷﺧﻴﻚ ﺑﺬﻧﺒﻪ ﺃﻋﻈﻢ ﺇﺛﻤﺎ ﻣﻦ ﺫﻧﺒﻪ ﻭﺃﺷﺪ ﻣﻦ ﻣﻌﺼﻴﺘﻪ ﻟﻤﺎ ﻓﻴﻪ ﻣﻦ ﺻﻮﻟﺔ ﺍﻟﻄﺎﻋﺔ ﻭﺗﺰﻛﻴﺔ ﺍﻟﻨﻔﺲ
“Engkau mencela saudaramu yang melakukan dosa, ini lebih besar dosanya daripada dosa yang dilakukan saudaramu dan maksiat yang lebih besar, karena menghilangkan ketaatan dan merasa dirinya suci”.
(lihat Madarijus Salikin [1/177-178])
Para ulama sudah mengingatkan mengenai hal ini, terlebih mereka adalah orang yang sangat berhati-hati dan takut kepada Allah.
Seorang ulama, Ibrahim an-Nakha‘i berkata,
إني لأرى الشيء أكرهه، فما يمنعني أن أتكلّم فيه إلا مخافة أن أُبتلى بمثله
“Aku melihat sesuatu yang aku tidak suka, tidak ada yang menahanku untuk berkomentar dan membicarakannya kecuali karena aku khawatir aku yang akan ditimpakan masalahnya di kemudian hari”.
(HR. Ibnu Abid Dunya dalam Kitab ash-Shamt)

0 komentar:

Posting Komentar