Sigap Memenuhi Panggilan Dakwah Dan Jihad
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul
apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu, dan
ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya dan
sesungguhnya kepada-Nyalah kamu akan dikumpulkan.” (Q.S. Al-Anfaal: 24).
Dakwah dan jihad adalah dua kata yang selamanya harus ada dan terpatri dalam
diri seorang Muslim yang menghendaki al-manzilah
al-‘ulya (kedudukan tinggi) di sisi Allah SWT. Setiap mukmin yang
memahami dan menghayati hakikat kehidupan pasti akan menempuh jalan kebahagiaan
abadi di sisi Allah SWT. Ia akan mendekat, berlari, dan terbang menuju
keridhaan-Nya “fafirruu ilallaah”
(Q.S. Adz-Dzaariyaat/51/50). Dan setiap al-akh yang di dalam relung hatinya
terhunjam keyakinan bahwa kematian itu kepastian yang cuma terjadi sekali, maka
ia akan memilih seni kematian yang paling mulia di sisi Allah.
baca
Imam Syahid
Akhil kariim, adakah jalan yang lebih mulia dan dapat membawa kita menuju
puncak kebahagiaan selain jalan dakwah yang telah ditempuh oleh Rasulullah SAW
dan yang beliau nyatakan menjadi jalan pengikutnya? Allahumma laa. Dan adakah kematian yang lebih terpuji di sisi-Nya yang selalu
didambakan oleh hamba-hamba yang beriman sejak dulu hingga hari kiamat selain
mati dalam jihad fii sabiililllah? Allahumma
laa.
Katakanlah, “Inilah jalan (agama)
ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan
hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang
musyrik. (Q.S. Yusuf: 108)
Apakah (orang-orang yang memberi
minuman kepada orang-orang yang mengerjakan haji dan mengurus Masjidil Haram,
kamu samakan dengan orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian
serta berjihad di jalan Allah? Mereka tidak sama di sisi Allah; dan Allah tidak
memberikan petunjuk kepada kaum yang zhalim. Orang-orang yang beriman dan
berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta benda dan diri mereka,
adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah; dan itulah orang-orang yang
mendapat kemenangan. (Q.S. At-Taubah: 19-20)
Ikhwati, tidak ada yang telah membuat usia para sahabat dan para ulama
sekaliber Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad r.a.
seolah terus memanjang hingga akhir zaman, kecuali dakwah yang mereka lakukan.
Tidak ada sesuatu yang telah membuat lisan orang-orang mukmin menyebut dan mendoakan
Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Thalhah, Zubair, dan Khalid bin Walid r.a. atau
tokoh-tokoh seperti Shalahuddin Al-Ayyubi, Thariq bin Ziyad, dan Al-Muzhaffar
Quthuz selain jihad fii sabilillah. Kehidupan mereka menjadi amat berarti dan
berharga karena mereka sigap menyambut seruan Allah dan Rasul-Nya.
Namun akhil kariim, kesigapan itu bukanlah suatu hal yang
muncul begitu saja, melainkan adalah buah keimanan kepada Allah sebagai Pemberi
dan Pencipta kehidupan, buah keimanan yang kokoh kepada hari akhir saat
terwujudnya kehidupan dan kebahagiaan hakiki. Kesigapan itu lahir dari hati
yang tidak lalai dari hakikat ini berkat taufiq dan ri’ayah rabbaniyah. Oleh sebab itu, Allah SWT berfirman: “…dan ketahuilah bahwa Allah membentengi
antara seseorang dengan hatinya, dan ketahuilah bahwa hanya kepada-Nya kamu
akan dikumpulkan (di mahsyar)."
Maka kita patut bertanya dan mengevaluasi diri. Seberapa
kuatkah hakikat kehidupan abadi di akhirat telah tertanam dalam hati sehingga
kita berhak mendapatkan ri’ayah
rabbaniyyah tersebut yang membuat ruhul istijabah menjadi karakter dalam diri kita? Seberapa kuat hakikat ini
mewarnai atau men-shibghah (QS 2:138) diri dan perilaku kita sehingga segala
resiko duniawi dalam dakwah dan jihad fi sabililillah menjadi kecil di mata
kita?
Kekuatan inilah yang menyebabkan Anas bin An-Nadhr r.a.
(paman Anas bin Malik r.a.) memberikan respon spontan kepada Saad bin Muadz
r.a. tatkala pasukan mukmin terdesak oleh musyrikin di perang Uhud dengan
ucapannya: “Ya Saad!
Surga…surga… aku mencium baunya di bawah bukit Uhud.” Kemudian beliau maju
menjemput syahid hingga jenazahnya tidak dapat dikenali, kecuali oleh saudara
perempuannya lewat jari tangannya (Muttafaq
‘alaih - Riyadhus shalihin, Kitab Al-Jihad, hadits No 1317).
Hal itu pula yang menjadikan Hanzhalah Sang ‘Ghasiil
Al-malaikat’ segera merespon panggilan jihad, meski ia baru menikmati malam
pengantin dan belum sempat mandi hadats besar. Perhatikan pula respon ‘Umair
Ibn Al-Humam r.a. tatkala beliau mendengar sabda Rasulullah SAW, “Quumuu ilaa jannatin ‘ardhuhas-samaawaatu
wal-ardh” (Bangkitlah menuju surga yang luasnya seluas langit dan bumi). Beliau
mengucapkan kata “bakh-bakh” (ungkapan takjub terhadap kebaikan dan pahala)
semata-mata karena ingin menjadi penghuni surga, lalu segera membuang beberapa
biji kurma yang sedang dikunyahnya sambil berkata, “La-in ana hayiitu hattaa
aakula tamaraatii haadzihii innahaa lahayaatun thawiilah” (Jika saya hidup
sampai selesai memakan kurma ini, oh betapa lamanya (menanti surga)). Lalu
beliau maju hingga gugur di perang Badar.
(H.R. Muslim, dalam Riyadhus shalihin, Kitab Al-Jihad, hadits No 1314).
Atau seperti Imam Al-Banna yang berangkat menunaikan tugas
dakwah meskipun anaknya terbaring sakit. Beliau meyakini bahwa setelah usahanya
optimal untuk mengobati putranya, Allah SWT yang diharapkan ridha-Nya dalam
menunaikan tugas dakwahnya, tidak pernah akan mengecewakan dirinya.
Akhil ‘aziiz, ruhul
istijabah juga muncul karena pemahaman kita
tentang qhadhaya ummah
(fahmul qhadaya) dan tanggung jawab (ruhul mas’uliyyah) kita untuk mencari solusinya. Orang yang tidak mengetahui
bahaya yang mengancam dirinya, sangat sulit kita harapkan responnya untuk
menghindari apalagi menghilangkan bahaya tersebut. Imam Syahid
Sifat daqiiq
asy-syu’uur dan ruuhul mas’uuliyyah berarti mengharuskan kita untuk selalu berinteraksi dengan qhadhaya ummah dan terus memahaminya tanpa menunggu orang lain memahamkannya
untuk kita. Sifat ini juga seharusnya membuat respon kita menjadi spontan dan
penuh energi sehingga melahirkan kekuatan dahsyat, betapapun lemahnya kondisi
fisik.
Lihatlah, bagaimana Al-Qur’an menceritakan kemampuan
Maryam AS, ibunda Isa AS, menggoyang batang pohon kurma sehingga buahnya
berjatuhan ketika beliau dalam keadaan lemah tak berdaya, semata-mata karena
rasa tanggung jawabnya akan kelahiran dan keselamatan putranya yang akan
mengemban risalah dakwah? (periksa Q.S. Maryam: 22-25).
Ikhwah fillah, beban kehidupan dunia yang kita hadapi,
apapun bentuknya, jangan sampai membuat kita kehilangan kepekaan dan kesigapan
memenuhi seruan dakwah dan jihad. Kita patut meneladani mujahidin Palestina
yang tidak pernah mengendor semangat dan aktivitas jihadnya meskipun perjalanan
panjang telah melewati dan terus menanti mereka. Juga, meskipun kesulitan
hidup, bahkan tekanan bertubi-tubi terus menghantam. Yakinlah bahwa kebersamaan
kita dengan Rasulullah SAW, shiddiqin, syuhada, dan shalihin di surga – insya
Allah – ditentukan oleh sejauh mana kita meneladani mereka dalam kesigapan
memenuhi seruan dakwah dan jihad.
Ingatlah selalu kecaman Allah dan Rasul-Nya terhadap
orang-orang munafik yang selalu mencari-cari alasan (tafannun fil ‘udzr) untuk menghindar dari kebutuhan berdakwah dan berjihad (lihat
Q.S. 9/At-Taubah: 94). Tadabburi pula ayat lainnya di dalam surat At-Taubah,
terutama ayat 41-47, yang mengungkapkan kemalasan dan keengganan mereka agar
kita senantiasa terhindar dari sifat-sifat mereka.
Katakanlah, “Jika bapak-bapak,
anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang
kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan rumah-rumah
tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan
Rasul-Nya dan (dari) berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah
mendatangkan keputusan-Nya.” Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada
orang-orang fasiq. (Q.S. At-Taubah: 24).
Wallahu a’lam
0 komentar:
Posting Komentar