Anak Tidak Juara Santai Saja

ANAK TIDAK JUARA?? SANTAI SAJA!

Oleh : Ust. Iwan Januar

Hari itu saya berkesempatan diundang untuk memberikan sharing hikmah pada milad sebuah perusahaan. Ternyata pada hari itu juga tengah digelar musabaqoh atau perlombaan bagi anak-anak. Ada lomba menggambar dan mewarnai, juga ada lomba tahfidz dan tahsin al-Quran. Ramai orang tua dan guru mengantarkan anak-anak dan siswa-siswa mereka ke lokasi acara.

Karena mendapat duduk tepat di depan panggung perlombaan tahsin dan tahfidz al-Quran, saya berkesempatan menyaksikan dulu penampilan beberapa peserta. Beberapa anak sudah tampil membacakan ayat-ayat al-Quran yang diminta panitia. Menurut saya semuanya bagus-bagus. Fasih dan cukup lancar.
Layaknya sebuah musabaqoh maka suasana kompetisi cukup terasa. Di sebelah saya, duduk seorang ayah yang terus menerus mengamati para peserta yang tampil. Beberapa kali ia memanggil anaknya yang juga turut berlomba; memberi tahu kesalahan-kesalahan para peserta yang sudah tampil. Tidak lupa ia juga memberitahu bagaimana cara membaca yang baik dan benar. Sang ayah nampak serius dan berkali-kali meng-coaching putrinya yang masih SD; harus begini, jangan begitu, terus berulang-ulang sang ayah berbicara pada putrinya. Sampai kemudian sang ayah memanggil istrinya untuk mengetes bacaan dan hafalan sang putri ke mesjid dekat tempat lomba. Saya yang berada dekat sang ayah geleng-geleng kepala; serius benar bapak ini, pikir saya.

Ya setiap orang tua atau guru yang mengantarkan putra-putrinya ke perlombaan pasti serius, karena memang menyenangkan melihat buah hati kita menjadi juara. Ada kebanggaan dan kepuasan sendiri menyaksikan kemenangan anak-anak kita.
Tapi nanti dulu, sebenarnya siapa yang bangga dan puas? Orang tua atau anak-anak kita? Apa benar anak-anak kita menikmati setiap perjalanan menuju kompetisi? Bagian inilah yang ingin saya ‘sentil’ kepada ayahbunda sekalian.

Ayahbunda rahimakumullah, sudah sejak lama para pakar pendidikan anak berdebat soal positif-negatifnya sebuah kompetisi bagi anak-anak. Benar, kompetisi sepertinya tak bisa dihindari dalam kehidupan kita dan anak-anak. Di rumah saja, seringkali kita bertanya; siapa anak ayah/mama yang mandi duluan? Atau siapa yang shalat berjamaah ke mesjid?
Di sekolah? Seabreg kompetisi diadakan guru dan pihak sekolah. Mulai dari juara kelas, juara umum, juara kebersihan kelas, juara baca al-Quran, dsb. Kompetisi seperti menjadi law of nature, atau sunnatullah.

Secara sunnatullah, Allah memang memberikan kesempatan pada setiap manusia untuk berkompetisi, termasuk dalam amal kebaikan. Kita sering mendengar bagaimana Umar bin Khathhtab selalu ingin bisa mengalahkan amal soleh Abu Bakar ash-Shiddiq – radliallahu ‘anhuma. Allah Ta’ala juga memotivasi kita untuk berlomba-lomba meraih jannahNya. Firman Allah:

" Kamu dapat mengetahui dari wajah mereka kesenangan mereka yang penuh kenikmatan. Mereka diberi minum dari khamar murni yang dilak (tempatnya), laknya adalah kesturi; dan untuk yang demikian itu hendaknya orang berlomba-lomba." (QS. Al-Muthaffifin: 26)

Kompetisi membuat kita terdorong untuk kreatif, bekerja keras dan melatih daya juang. Senang, bangga dan puas rasanya bila tampil sebagai pemenang. Kompetisi juga bisa menghibur mereka yang ikut di dalamnya. Misalnya, Rasulullah saw. suka menghibur diri dan keluarganya dengan melakukan perlombaan. Dalam hadits shahih Imam Bukhari bisa kita baca Beliau bercanda dengan Aisyah dengan berlomba lari.

Tapi kompetisi yang positif bagi anak-anak adalah kompetisi yang dilakukan dengan ‘sehat’. Yaitu kompetisi yang dilakukan dalam suasana ceria, semua peserta diberikan motivasi dan pujian, sehingga tak ada yang merasa bersedih meskipun tidak memenangkan perlombaan.

Sayangnya, tidak semua orang tua – atau guru di sekolah dan panitia lomba – yang memahami psikologi anak. Dari sisi orang tua, ada yang terjebak pada perilaku ‘obsesif-kompulsif’. Bahasa gampangnya, ada orang tua yang begitu kebelet dan bernafsu ingin menjadikan anak kita pemenang dan berprestasi. Pokoknya, anak kita harus jadi the best. Ketika anak menang, pujian berdatangan bertubi, tapi ketika kalah dicela atau kurang diapresiasi.

Padahal bagi anak sungguh tidak mudah untuk menerima kekalahan. Jangankan bagi anak, banyak orang dewasa yang juga tidak siap menerima kekalahan. Anak yang kalah – apalagi kalah terus menerus – bisa muncul citra diri negatif pada dirinya; aku tak berbakat, bodoh, tidak baik, dsb. Apalagi bila orang tuanya mengidap obsesif-kompulsif. Inilah sisi negatif sebuah kompetisi bagi anak-anak.

Di layar kaca sering kita melihat anak-anak yang ‘kalah’ dalam kompetisi menangis atau diam terpukul. Biasanya ia akan menundukkan kepala dan merapat ke orang tuanya. Ini juga terjadi dalam lomba keislaman seperti menghafal al-Quran atau dai cilik. Beban mentalnya semakin berat manakala ia tahu bahwa kekalahannya itu disaksikan jutaan penonton. Ini resiko kompetisi. Menghasilkan dua kutub; pemenang dan pecundang.

Anak yang menang pun bukannya tak lepas dari dampak negatif sebuah kompetisi. Ia bisa lepas kontrol. Bukan lagi jadi percaya diri, tapi menjadi tinggi hati. Meremehkan kawan-kawannya dan berlagak. Jangankan anak kecil, orang dewasa saja bisa lupa daratan bila selalu menang dan mendapat banyak sanjungan.

Bagian inilah yang harus disadari oleh orang dewasa, khususnya ayahbunda. Tidak semua anak senang diperlombakan, dan tidak semua perlombaan itu bisa menyenangkan. Coba, bila ayahbunda yang ikut kompetisi apakah ayahbunda tidak merasa tegang? Apalagi terus menerus dikasih instruksi harus begini-begitu, apakah tidak merasa galau?

Misalnya ayahbunda ikutserta dalam kompetisi; ORANGTUA TERBAIK BAGI ANAK, sedihkah bila dinyatakan kalah? Bila jawabannya: iya! Apalagi anak-anak kita. Mental mereka tidak seperti orang dewasa.

Maka tidak usah terlalu bernafsu memasukkan anak kita dalam berbagai kompetisi. Tidak setiap orang yang memenangkan kompetisi lantas selalu jadi yang terbaik. Banyak orang sukses tidak lahir dari kompetisi. Syaikh Misyari Rasyid atau Syaikh Abdullah Sudais yang tilawah al-Quran-nya merdu dan digemari banyak orang, bukan pemenang dari sebuah kompetisi baca al-Quran. Ustadz Arifin Ilham atau Aa Gym juga bukan juara saat bersekolah dan jadi santri, tapi mereka bisa tampil sebagai orang hebat di mata umat.

Begitupula banyak ilmuwan genius seperti Albert Enstein atau Thomas Alva Edison tidak terus menerus jadi juara kelas saat bersekolah dan kuliah. Malah Thomas Alva Edison drop out dari sekolahnya, tapi justru menjadi penemu yang luar biasa.

Santai saja bila anak kita tidak mau ikut kompetisi, atau tidak punya satupun piala di kamarnya. Setiap orang punya passion dan ketrampilan tersendiri. Mungkin anak kita tidak pandai matematika, atau berbahasa Inggris, tapi ia supel dalam bergaul, punya banyak kawan. Bisa jadi anak kita bukan juara membaca dan menghafal al-Quran, tapi ia rajin shalat berjamaah lima waktu di mesjid, tidak pernah absen dari kegiatan dakwah. Bukankah itu juga sebuah prestasi bagi anak-anak kita?
Lebih penting bagi kita mencetak anak-anak kita bermental juara; pantang menyerah, giat dalam beramal soleh, dan pandai menghargai perasaan orang lain. Jadikan anak kita juara di jalan Islam, di hadapan Allah SWT. itu jauh lebih penting, lebih berharga dari segala kompetisi apapun di dunia.

0 komentar:

Posting Komentar