Istiqamah
Oleh
Muhammad Ilham Muchtar, Lc
Staf
Pengajar Lembaga Bahasa Arab dan Studi Islam Al-Birr, Makassar
“Sesungguhnya
orang-orang yang mengatakan, ‘Rabb kami adalah Allah’, kemudian mereka
meneguhkan pendiriannya (beristiqamah), maka tidak ada kekhawatiran terhadap
mereka dan mereka tiada pula berduka cita. Mereka itulah penghuni-penghuni
surga , mereka kekal di dalamnya sebagai balasan atas apa yang telah mereka
kerjakan”.(QS al-Ahqaaf: 13-14)
Sebagai
bentuk penghambaan manusia pada Rabbnya, ibadah memerlukan istiqamah. Keteguhan
hati dalam mengikuti petunjuk yang dengan jelas telah ditetapkan dalam
al-Qur’an dan al-Hadits, tanpa menambah atau mengurangi sedikit pun.
Istiqamah
sebagai konsep yang syamil (menyeluruh) dan kamil (sempurna) secara sederhana
dapat bermakna keberlangsungan yang terus menerus dalam kebenaran dan kebaikan,
baik sebagai ucapan, perbuatan, keyakinan, sikap maupun nilai.
Guna
menjelaskan hakikat istiqamah, Ibnu Rajab al-Hambali mengajukan definisi,
“Berjalan di atas jalan kebenaran yang lurus tanpa menyimpang sedikit pun, dan
menjalankan syariat Islam sesuai dengan manhaj Rasulullah saw dalam melakukan
perintah dan meninggalkan larangan-Nya.”
Imam Muslim
meriwayatkan sabda Rasulullah saw, “Amal yang paling disukai Allah Ta’ala
adalah amal yang dikerjakan terus menerus walaupun jumlahnya sedikit,” Karena
itu, istiqamah bukan sekadar kebajikan tambahan atau pelengkap, melainkan
sebuah keharusan dalam kehidupan manusia, sebagai individu maupun masyarakat.
“Istiqamah
adalah jalan menuju keberhasilan di dunia dan keselamatan di akhirat. Seseorang
yang memiliki sikap istiqamah akan selalu merasa dekat dengan kebaikan,
rezekinya dilapangkan, dan akan jauh dari pengaruh buruk hawa nafsu dan
syahwat. Dengan hati istiqamah, malaikat akan turun untuk memberikan keteguhan
dan ketenangan dari rasa takut terhadap azab kubur. Selain itu, hati yang
istiqamah akan mempermudah amal seseorang untuk diterima di sisi Allah selain
akan mempermudah untuk dihapus dosa-dosanya,” papar Imam al-Qurthubi, salah
seorang ulama tafsir.
Jelasnya,
istiqamah adalah sebuah keniscayaan bagi seorang Muslim.
sebagaimana
dijelaskan sendiri oleh Rasulullah saw. Ketika seorang sahabatnya, Sufyan bin
Abdullah, bertanya: “Wahai Rasulullah mohon dijelaskan padaku tentang Islam
yang sesungguhnya, sehingga aku tidak bertanya lagi setelah ini kepada
seseorang selain kepadamu?” Beliau menjawab, “Katakanlah, aku beriman kepada
Allah kemudian beristiqamalah!” (HR Muslim).
Singkat dan
padat. Demikianlah kiranya jawaban Rasulullah saw dari pertanyaan sahabatnya
tersebut, namun di balik kesingkatan jawaban tersebut justru kita dapat
menangkap suatu isyarat bahwa untuk menjadi Muslim sejati ‘cukup’ dengan
memenuhi dua syarat, yaitu: beriman kepada Allah dan bersikap istiqamah dalam
keimanannya tersebut.
Bersikap
istiqamah dalam keimanan tidaklah sesederhana yang dibayangkan.
Umumnya
orang memahami keimanan kepada Allah cukup dengan mempercayai dan mengakui
eksistensi Allah dengan segenap ke-rububiyahan-Nya. Padahal iman bukan sekadar
angan-angan, imajinasi atau khayalan. Ia adalah keyakinan yang harus tertanam
kokoh dalam jiwa dan diwujudkan dalam perbuatan nyata.
Allah sangat
menghargai dan memuji orang-orang yang mampu mempertahankan sikap istiqamah.
Merekalah yang berani menegakkan kebenaran dan tidak takut dengan konsekuensi
keimanan. Bahkan tidak akan menyesal bila risiko betul-betul menimpa dirinya
sebagai kaum Mukminin. “Sesungguhnya orang-orang yang berkata, ‘Tuhan kami
ialah Allah’, kemudian mereka tetap dalam pendiriannya (istiqamah), maka
malaikat akan turun kepada mereka (dengan berkata), ‘janganlah kamu merasa
takut dan sedih dan bergembiralah kamu dengan surga yang telah dijanjikan Allah
kepadamu.”
(QS
Fushshilat :30).
Karena itu,
setiap kita harus berjuang untuk menumbuhkan istiqamah dalam jiwa
masing-masing. Ada empat hal yang harus ditempuh agar dapat menjadi hamba-hamba
Allah yang istiqamah. Pertama, kesadaran dan pemahaman yang benar (Al-Wa’yu wa
al-fahmu ash-Shahih). Untuk mencapai derajat istiqamah yang optimal dan
berdaya, pemahaman ajaran Islam secara sempurna mutlak diperlukan. Muslim yang
memahami ajaran agamanya dengan baik tidak akan bimbang menjalani kehidupan
dunia. Ia akan tetap tegar
(istiqamah)
menghadapi badai godaan sedahsyat apa pun.
Kedua,
mendekatkan diri kepada Allah dan merasakan pengawasan-Nya (at-Taqarrub wa
al-Muraqabah). Dua hal ini sangat penting. Ketika seorang Muslim telah merasa
dekat dengan Allah, kemana pun ia pergi, dimana pun ia berada dan bagaimana pun
situasi dan kondisinya, dengan keyakinan penuh ia akan selalu merasa diawasi
dan dilihat oleh Allah.
Dengan
begitu, ia tidak lagi berani menyimpang dari jalan-Nya (QS
al-Baqarah:
235).
Ketiga,
berteman dengan orang-orang shalih (mulaazamat ash-shalihin).
Rasulullah
saw mengingatkan, “Seseorang itu mengikuti agama kawannya, karena itu
perhatikanlah kepada siapa orang itu berkawan.” (HR Tirmidzi).
Keempat,
intropeksi dan sungguh-sungguh (al-Muhasabah wa al-Mujahadah).
Setiap
pribadi Muslim harus mengetahui bahwa musuh utama dirinya adalah hawa nafsunya
sendiri yang memang memiliki tabiat selalu condong pada kejahatan dan perbuatan
dosa (QS Yusuf: 53).
Sebab
itulah, setiap Muslim seyogianya selalu mengadakan introspeksi diri (muhasabah
an-nafs) terhadap apa-apa yang telah dikerjakan agar ia dapat mengontrol hawa
nafsunya setiap saat.
0 komentar:
Posting Komentar