Menghormati Pendapat Haram Hormat Bendera, Upacara Bendera dan Menyanyikan Lagu Kebangsaan Fatwa Ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang Mengharamkan Hormat Bendera, Upacara Bendera dan Menyanyikan Lagu Kebangsaan

Menghormati Pendapat Haram Hormat Bendera, Upacara Bendera dan Menyanyikan Lagu Kebangsaan Fatwa Ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang Mengharamkan Hormat Bendera, Upacara Bendera dan Menyanyikan Lagu Kebangsaan
فتوى رقم ( 2123 ) :
س: هل يجوز الوقوف تعظيما لأي سلام وطني أو علم وطني؟
ج: لا يجوز للمسلم القيام إعظاما لأي علم وطني أو سلام وطني، بل هو من البدع المنكرة التي لم تكن في عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم، ولا في عهد خلفائه الراشدين رضي الله عنهم، وهي منافية لكمال التوحيد الواجب وإخلاص التعظيم لله وحده، وذريعة إلى الشرك، وفيها مشابهة للكفار وتقليد لهم في عاداتهم القبيحة ومجاراة لهم في غلوهم في رؤسائهم ومراسيمهم، وقد نهى النبي صلى الله عليه وسلم عن مشابهتهم أو التشبه بهم.
وبالله التوفيق. وصلى الله على نبينا محمد، وآله وصحبه وسلم .
اللجنة الدائمة للبحوث العلمية والإفتاء
عضو … عضو … نائب رئيس اللجنة … الرئيس
عبد الله بن قعود … عبد الله بن غديان … عبد الرزاق عفيفي … عبد العزيز بن عبد الله بن باز
Fatwa no. 2123:
Pertanyaan: Bolehkah berdiri dalam rangka menghormati lagu kebangsaan atau bendera negara?
Jawab: Tidak boleh bagi seorang muslim berdiri dalam rangka penghormatan kepada bendera negara mana saja ataupun lagu kebangsaan, karena hal itu termasuk bid’ah yang mungkar yang tidak ada di zaman Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, tidak pula di zaman Al-Khulafa’ Ar-Rasyidin radhiyallahu’anhum. Hal itu juga menafikan kesempurnaan tauhid yang wajib dan mengurangi murninya pengagungan terhadap Allah Ta’ala yang satu saja, serta dapat mengantarkan kepada syirik, menyerupai orang-orang kafir, taklid kepada mereka dalam tradisi yang buruk dan sejalan dengan mereka dalam sikap berlebihan terhadap para pemimpin dan simbol-simbol kepemimpinan, padahal Nabi shallallahu’alaihi wa sallam telah melarang kita menyerupai orang-orang kafir dengan sengaja ataupun tanpa sengaja meniatkan untuk menyerupai mereka.”
Semoga Allah Ta’ala memberikan taufik, dan semoga shalawat serta salam tercurah kepada Nabi kita, juga keluarga dan sahabat beliau.
Komite Tetap untuk Pembahasan Ilmiah dan Fatwa
Ketua : Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz.
Anggota : Syaikh Abdur Razzaq ‘Afifi, Syaikh Abdullah bin Ghudayan, Syaikh Abdullah bin Qu’ud.
Sumber: Kitab Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah lil Buhutsil ‘Ilmiyyah wal Ifta’, jilid 1 halaman 235.
Penjelasan
Pembaca yang budiman, fatwa di atas adalah fatwa ulama-ulama besar Ahlus Sunnah wal Jama’ah dari negeri haramain; Makkah dan Madinah yang diakui dunia akan keilmuan dan ketakwaan mereka. Dari fatwa di atas kita dapat mengetahui sebab-sebab haramnya perbuatan tersebut dengan lima alasan:
1) Bid’ah yang Mungkar
Bid’ah artinya mengada-ada di dalam agama yang tidak dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, dan setiap bid’ah adalah kesesatan dan kemungkaran.
Rasulullah sahallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلاَ هَادِىَ لَهُ إِنَّ أَصْدَقَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَأَحْسَنَ الْهَدْىِ هَدْىُ مُحَمَّدٍ وَشَرَّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَكُلَّ ضَلاَلَةٍ فِى النَّار
“Barangsiapa yang Allah berikan hidayah, maka tidak ada yang bisa menyesatkannya, dan barangsiapa yang Allah sesatkan, maka tidak ada yang bisa memberinya hidayah. Sesungguhnya sebenar-benarnya ucapan adalah kitab Allah Ta’ala dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad –shallallahu’alaihi wa sallam-, dan seburuk-buruknya perkara adalah perkara-perkara baru (dalam agama), dan setiap yang baru (dalam agama) adalah bid’ah, dan setiap bid’ah itu sesat, dan setiap yang sesat tempatnya di neraka.” [HR. An-Nasai][2]
Perbuatan bid’ah, alias mengada-ada dalam agama mencakup dua bentuk keterkaitan dengan agama, baik secara langsung maupun tidak langsung. Bentuk kedua inilah barangkali dasar yang lebih tepat dari pendapat ulama yang mengatakan hormat bendera termasuk bid’ah, bahwa perbuatan tersebut dapat menjadi suatu ritual yang menyerupai ibadah (yang keterkaitannya tidak secara langsung dengan agama), bahkan lebih dari itu, terkadang seseorang begitu khusyuknya ketika upacara bendera namun ketika ibadah kepada Allah Ta’ala dia tidak khusyuk.
Untuk dapat memahami masalah ini berikut penjelasan beberapa kaidah dalam mengenal bid’ah dari kitab Qawa’id Ma’rifatil Bida’, karya Syaikh Muhammad bin Husain Al-Jizani hafizhahullah yang beliau kumpulkan dari penjelasan ulama ushuliyun:
Kaidah mengenal bid’ah pertama:
أن كل عمل – ولو كان مشروعًا – يُفضي إلى الإحداث في الدين فهو ملحق بالبدعة إن لم يكن بدعة
“Bahwa setiap amalan –meskipun disyari’atkan- yang bisa mengantarkan kepada bid’ah dalam agama maka dihukumi bid’ah walaupun asalnya bukan bid’ah (dalam agama).”[3]
Ibnul Jauzi rahimahullah berkata,
فإن ابُتدع شيء لا يخالف الشريعة ، ولا يوجب التعاطي عليها ؛ فقد كان جمهور السلف يكرونه ، وكانوا ينفرون من كل مبتدَع وإن كان جائزًا ؛ حفظًا للأصل ، وهو الإتباع
“Apabila muncul suatu bid’ah yang tidak menyelisihi syari’ah (yakni bukan bid’ah dalam agama, pen), tidak pula pasti menyebabkan penyelisihan terhadap syari’ah, maka mayoritas ulama Salaf membencinya, mereka juga memperingatkan dari setiap bid’ah (baik dalam agama ataupun pengantar kepada bid’ah, pen), meskipun hal itu boleh (karena bukan bid’ah dalam agama, baru berupa pengantar ke sana, pen) maka mayoritas ulama Salaf tetap melarang sebagai penjagaan terhadap prinsip agama yaitu ittiba’ (meneladani Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam).”[4]
Kaidah mengenal bid’ah kedua:
إلزام الناس بفعل شيء من العادات والمعاملات ، وجعْل ذلك كالشرع الذي لا يُخالف ، والدين الذي لا يُعارض بدعة
“Mewajibkan manusia melakukan suatu kebiasaan dan mu’amalah (perkara duniawi seperti perdagangan dan lain-lain, pen), dengan menjadikan hal itu seperti syari’ah yang tidak bisa diselisihi dan bagaikan ajaran agama yang tidak bisa dilanggar adalah bid’ah.”[5]
Asy-Syatibi rahimahullah menjelaskan contoh kaidah di atas:
وضْع المكوس في معاملات الناس ، كالدِّين الموضوع والأمر المحتوم عليهم ، دائمًا أو في أوقات محدودة ، على كيفيات مضروبة ، بحيث تضاهي المشروع الدائم الذي يحمل عليه العامة ، ويؤخذون به ، وتوجه على الممتنع منه العقوبة ، كما في أخذ زكاة المواشي والحرث ، وما أشبه ذلك
“Menetapkan cukai/pajak dalam perdagangan, bagaikan sebuah aturan agama yang harus dibayarkan dan kewajiban yang harus ditunaikan (yakni menyerupai zakat, pen), karena dilakukan terus-menerus atau pada waktu-waktu yang sudah ditentukan, dalam bentuk yang telah ditentukan, sehingga menyerupai ketentuan syari’ah yang ditetapkan dan diwajibkan atas manusia, dan dapat dikenakan sangsi bagi yang tidak mau melakukannya, bagaikan kewajiban zakat ternak, pertanian, dan yang semisalnya.”[6]
Kaidah mengenal bid’ah ketiga:
مشابهة الكافرين فيما كان من خصائصهم من عبادة أو عادة أو كليهما بدعة
“Menyerupai orang-orang kafir dalam ciri khusus mereka, apakah itu ibadah, kebiasaan ataupun keduanya adalah bid’ah.”[7]
Seorang ulama besar dari mazhab Syafi’i, Al-Hafizh Adz-Dzahabi Asy-Syafi’i rahimahullah berkata:
أما مشابهة الذمة في الميلاد والخميس والنيروز فبدعة وحشة
“Adapun menyerupai orang-orang kafir dzimmi dalam perayaan ulang tahun, kamis suci (sebelum paskah dalam Nasrani, pen) dan perayaan Nairuz (hari besar Iran yang tidak diajarkan dalam Islam, pen) maka itu adalah bid’ah yang jelek.”[8]
Kaidah mengenal bid’ah keempat:
مشابهة الكافرين فيما أحدثوه مما ليس في دينهم من العبادات أو العادات أو كليهما بدعة
“Menyerupai orang-orang kafir dalam bid’ah mereka yang tidak diajarkan dalam agama mereka, apakah itu ibadah, kebiasaan ataupun keduanya adalah bid’ah.”[9]
Ulama besar dari mazhab Hanbali, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata:
فإنه لو أحدثه المسلمون لقد كان يكون قبيحًا فكيف إذا كان مما لم يشرعه نبي قط ، بل أحدثه الكافرون ، فالموافقة فيه ظاهرة القبح ، فهذا أصل
“Sesungguhnya bid’ah itu sudah jelek apabila yang mengada-adakannya adalah kaum muslimin, maka bagaimana lagi jika bid’ah itu tidak pernah diajarkan oleh seorang nabi pun, melainkan bid’ah yang diada-adakan oleh orang kafir, maka menyerupai mereka dalam bid’ah itu jelas kejelekannya. Ini adalah prinsip.”[10]
Penjelasan para ulama di atas menunjukkan bahwa perbuatan yang mubah atau urusan duniawi, seperti perayaan, seremonial dan muamalah dapat menjadi bid’ah karena empat sebab:
Pertama: Jika perbuatan itu dapat mengantarkan kepada bid’ah maka dihukumi bid’ah, walaupun hanya berupa perkiraan, bukan sebuah kepastian.
Kedua: Urusan duniawi yang pengamalannya menyerupai amalan agama juga termasuk bid’ah.
Ketiga: Menyerupai ciri khusus orang-orang kafir.
Keempat: Menyerupai bid’ah orang-orang kafir.
Barangkali inilah alasan-alasan para ulama yang berpendapat upacara bendera termasuk bid’ah.
2) Mengurangi Kesempurnaan Tauhid dan Mengotori Murninya Pengagungan kepada Allah Ta’ala
Hakikat tauhid adalah memurnikan ibadah hanya kepada Allah Ta’ala, baik ibadah lahir maupun batin. Pengagungan kepada Allah Ta’ala termasuk ibadah batin, bahkan itulah hakikat ibadah, yaitu penghambaan, pengagungan dan cinta kepada Allah Ta’ala.
Al-Imam Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata,
والعبادة بمفهومها العام هي التذلل لله محبة وتعظيماً بفعل أوامره واجتناب نواهيه على الوجه الذي جاءت به شرائعه
“Ibadah dalam arti yang umum adalah merendahkan diri kepada Allah dengan penuh cinta dan pengagungan; menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya dengan cara yang sesuai dengan syari’at-Nya.”[11]
Beliau juga menjelaskan hakikat tauhid:
التوحيد هو إفراد الله بالعبادة أي أن تعبد الله وحده لا تشرك به شيئاً، لا تشرك به نبياً مرسلاً، ولا ملكاً مقرباً ولا رئيساً ولا ملكاً ولا أحداً من الخلق، بل تفرده وحده بالعبادة محبة وتعظيماً، ورغبة ورهبة
“Tauhid adalah mengesakan Allah Ta’ala dalam ibadah, yaitu engkau beribadah hanya kepada Allah Ta’ala yang satu saja dan jangan menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun juga; apakah dengan nabi yang diutus oleh-Nya, malaikat yang dekat dengan-Nya, ataukah dengan seorang pemimpin, raja dan siapapun dari makhluk-Nya. Tetapi engkau hanya mengesakan-Nya dalam ibadah dengan penuh cinta dan pengagungan, harap dan takut.”[12]
Demikian pula hakikat kesyirikan adalah tidak adanya pengagungan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagaimana mestinya. Allah Jalla wa ‘Ala telah mencela orang-orang yang melakukan syirik dalam firman-Nya:
وَمَا قَدَرُوا اللَّهَ حَقَّ قَدْرِهِ وَالأَرْضُ جَمِيعًا قَبْضَتُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَالسَّماوَاتُ مَطْوِيَّاتٌ بِيَمِينِهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عَمَّا يُشْرِكُون
“Dan mereka tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan yang semestinya padahal bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada hari kiamat dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya. Maha Suci Allah dan Maha Tinggi Dia dari apa yang mereka persekutukan.” [Az-Zumar: 67]
Oleh karena itu, wajib bagi setiap muslim menjaga imannya dari hal-hal yang dapat mengurangi kesempurnaannya atau mengotori kemurniannya, diantaranya dengan tidak melakukan penghormatan kepada suatu benda secara berlebihan, atau melebihi kadarnya yang sepatutnya.
3) Sarana yang Dapat Mengantarkan kepada Syirik
Ketika seorang menghormati suatu benda melebihi kadarnya, maka sangat dikhawatirkan hal itu dapat mengantarkannya kepada perbuatan syirik, yaitu syirik dalam ibadah hati; berupa pengagungan kepada makhluk sebagaimana pengagungannya kepada Allah Ta’ala, atau bahkan lebih.
Pentingnya menjaga tauhid dengan menghindari hal-hal yang bisa mengantarkan kepada syirik telah dicontohkan oleh para sahabat Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, diantaranya dalam kisah penebangan sebuah pohon bersejarah, bukan sekedar benda mati, tapi makhluk hidup yang pernah menjadi “saksi” perjuangan Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dan para sahabat. Bukan cuma itu, ternyata pohon ini juga disebut dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits.
Allah Ta’ala berfirman,
لّقَدْ رَضِيَ اللّهُ عَنِ الْمُؤْمِنِينَ إِذْ يُبَايِعُونَكَ تَحْتَ الشّجَرَةِ
“Sesungguhnya Allah telah ridho terhadap orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon itu.” [Al-Fath: 18]
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
لَا يَدْخُلُ النَّارَ أَحَدٌ مِمَّنْ بَايَعَ تَحْتَ الشَّجَرَةِ
“Tidak akan masuk neraka seorang pun yang berbai’at di bawah pohon itu.” [HR. At-Tirmidzi][13]
Mungkin sebagian orang mengatakan, “Sangat keterlaluan orang yang tidak menghormati pohon bersejarah tersebut, terlebih pohon itu makhluk hidup,” tetapi sahabat memahami bahwa menghormati haruslah sesuai dengan ajaran agama, dan lebih penting dari itu adalah menjaga tauhid dibanding menghormati sebuah benda bersejarah, sehingga Umar bin Khattab radhiyallahu’anhu menebang pohon bersejarah tersebut.
Apa sebab beliau menebangnya? Apakah karena di situ terjadi kesyirikan? Jawabannya, belum terjadi kesyirikan di situ. Beliau menebangnya hanya karena khawatir jangan sampai pohon itu kelak dijadikan tempat kesyirikan, walaupun orang-orang yang datang ke sana tidak melakukan kejahatan, yang mereka lakukan hanyalah sholat di bawah pohon itu.
Ibnu Wadhdhah rahimahullah menuturkan:
سَمِعْتُ عِيْسَى بْنَ يُوْنسَ يَقوْلُ:«أَمَرَ عُمَرُ بْنُ الخطابِ رَضِيَ الله ُ عَنْهُ بقطعِ الشَّجَرَةِ التي بوْيعَ تَحْتَهَا النَّبيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فقطعَهَا ، لأَنَّ النّاسَ كانوْا يَذْهَبُوْنَ فيصَلوْنَ تَحْتَهَا ، فخافَ عَليْهمُ الفِتْنة
“Aku mendengar Isa bin Yunus berkata, Umar bin Khattab radhiyallahu’anhu memerintahkan untuk memotong pohon yang di bawahnya Nabi shallallahu’alaihi wa sallam dibai’at, maka dipotonglah. Hal itu dilakukan karena orang-orang pergi ke pohon itu untuk sholat di bawahnya, maka beliau khawatir mereka akan ditimpa fitnah (syirik)”[14]
فَاعْتَبِرُوا يَا أُولِي الأَبْصَار
“Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai pandangan.” [Al-Hasyr: 2]
4) Menyerupai Orang-orang Kafir
Menyerupai kebiasaan yang sudah menjadi ciri khusus orang kafir bukan hanya termasuk bid’ah, tapi juga termasuk kemaksiatan yang bertentangan dengan maqaashid syari’ah (tujuan-tujuan sayari’at), karena diantara tujuan syari’at adalah menyelisihi orang-orang kafir, tidak boleh mengikuti agama maupun kebiasaan mereka yang merupakan ciri khusus mereka.
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum maka dia bagian dari mereka.” [HR. Abu Daud][15]
5) Berlebih-lebihan dalam Penghormatan
Ghuluw atau berlebih-lebihan dalam menghormati makhluk sampai membuat cara-cara khusus dan mewajibkan perbuatan itu adalah sesuatu yang terlarang dalam Islam, jangankan kepada benda mati, kepada nabi yang kita cintai saja tidak boleh berlebih-lebihan dalam menghormati beliau.
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam telah mengingatkan,
لاَ تُطْرُونِى كَمَا أَطْرَتِ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ ، فَإِنَّمَا أَنَا عَبْدُهُ ، فَقُولُوا عَبْدُ اللَّهِ وَرَسُولُه
“Janganlah kalian memujiku berlebih-lebihan sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang Nasrani kepada Isa bin Maryam, aku ini hanyalah hamba-Nya, maka ucapkanlah hamba Allah dan rasul-Nya.” [HR. Al-Bukhari][16]
Juga peringatan beliau,
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِيَّاكُمْ وَالْغُلُوَّ فِى الدِّينِ فَإِنَّمَا أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمُ الْغُلُوُّ فِى الدِّينِ
“Wahai manusia, jauhilah oleh kalian sikap berlebih-lebihan dalam agama, karena yang membinasakan umat terdahulu adalah sikap berlebih-lebihan dalam agama.” [HR. An-Nasai dan Ibnu Majah][17]
Tentang Lagu Kebangsaan
Para ulama yang mengharamkan lagu kebangsaan dan nyanyian apapun, juga karena mereka berpendapat bahwa nyanyian, terlebih dengan alat musik, diharamkan dalam Islam. Berdasarkan firman Allah Ta’ala:
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَيَتَّخِذَهَا هُزُوًا أُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ مُهِين
“Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan.” [Luqman: 6]
Sahabat yang mulia Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu ketika menjelaskan arti “perkataan yang tidak berguna” yang dicela oleh Allah Ta’ala dalam ayat di atas, beliau berkata:
الغناء، والله الذي لا إله إلا هو، يرددها ثلاث مرات
“Maksudnya adalah nyanyian, demi Allah yang tidak ada yang berhak disembah selain Dia,” beliau mengulangi sumpahnya tiga kali.”[18]
Ibnu Katsir rahimahullah berkata,
وكذا قال ابن عباس، وجابر، وعِكْرِمة، وسعيد بن جُبَيْر، ومجاهد، ومكحول، وعمرو بن شعيب، وعلي بن بَذيمة.
وقال الحسن البصري: أنزلت هذه الآية: { وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ } في الغناء والمزامير.
“Penafsiran yang sama juga dikatakan oleh Abdullah bin Abbas, Jabir, Ikrimah, Sa’id bin Jubair, Mujahid, Makhul, ‘Amr bin Syu’aib dan Ali bin Badzimah.
Dan berkata Al-Hasan Al-Basri, turunnya ayat ini “Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan,” dalam (mencela) nyanyian dan alat-alat musik (seperti seruling dan semisalnya, pen).”[19]
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
لَيَكُونَنَّ مِنْ أُمَّتِى أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّونَ الْحِرَ وَالْحَرِيرَ وَالْخَمْرَ وَالْمَعَازِفَ
“Akan ada nanti segolongan umatku yang menghalalkan zina, sutera (bagi laki-laki diharamkan, pen), khamar dan alat-alat musik.” [HR. Al-Bukhari][20]
Pembaca yang budiman, inilah barangkali alasan-alasan mereka yang tidak mau melakukan hormat bendera dan upacara bendera. Perlu dicermati di sini, alasan pengharaman bukan karena haramnya menghormati bendera, tapi cara yang salah dalam menghormati, terlebih ini hanya masalah duniawi, masing-masing orang berhak menerjemahkan sendiri bagaimana cara menghormati, sepanjang tidak bertentangan dengan ajaran agama.
Dan perlu dicatat, belum tentu orang-orang yang mencela pendapat tersebut lebih dikatakan menghormati negara dibanding orang-orang yang berpendapat demikian, bahkan tidak jarang kita dapati, mereka yang mencela pendapat haram hormat bendera adalah juga orang-orang yang suka menjelek-jelekan dan menjatuhkan wibawa pemerintah di media massa.
Sebaliknya, mereka yang berpendapat haram hormat bendera, tidak pernah dan tidak terbetik dalam benak mereka untuk menyebarkan aib-aib pemerintah di khalayak ramai, apalagi melakukan demonstrasi yang merupakan kebiasaan orang-orang kafir.
Oleh karena itu kami tegaskan, tulisan ini bukan sebagai dukungan terhadap kelompok-kelompok teroris khawarij yang memiliki ideologi pemberontakan terhadap pemerintah kaum muslimin, walaupun mereka juga berpendapat haram hormat bendera, akan tetapi pendapat mereka bukan dibangun di atas dalil-dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah serta bimbingan ulama, namun dibangun di atas ideologi mereka yang menyimpang dari manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah, yaitu ideologi teroris khawarij.
فَإِنَّهَا لا تَعْمَى الأَبْصَارُ وَلَكِن تَعْمَى الْقُلُوبُ الَّتِي فِي الصُّدُورِ
“Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada.” [Al-Hajj: 46]
وبالله التوفيق. وصلى الله على نبينا محمد ، وآله وصحبه وسلم
FansPage Website: Sofyan Chalid bin Idham Ruray [www.fb.com/sofyanruray.info]

[1] Tafsir Ibnu Katsir, 7/208, cetakan Dar Thaybah 1420 H.
[2] HR. An-Nasai no. 1589 dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu’anhuma, dan dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Khutbatul Hajah, hal. 25.
[3] Qowa’id Ma’rifatil Bida’, hal. 51, cetakan Dar Ibnul Jauzi 1430 H.
[4] Lihat Talbis Iblis, hal. 16, sebagaimana dalam Qowa’id Ma’rifatil Bida’, hal. 51.
[5] Lihat Al-I’tisham, 2/80-82, ibid, hal. 147.
[6] Lihat Al-I’tisham, 2/80, 81, ibid, hal. 147.
[7] Ahkamul Janaiz, hal. 242, ibid, hal. 153
[8] At-Tamassuk bi As-Sunan, hal. 130, ibid, hal. 153
[9] Al-Amru bil Ittiba’, hal. 242, ibid, hal. 156
[10] Iqthida Shirathil Mustaqim, 1/423, ibid, hal. 158
[11] Syarhu Tsalatsatil Ushul, hal. 39.
[12] Ibid, hal. 42
[13] HR. At-Tirmidzi dan beliau berkata, hadits ini Hasan Shahihdari Jabir bin Abdullah radhiyallahu’anhuma, dan dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahihul Jami’, no. 7680.
[14] Diriwayatkan oleh Ibnu Wadhdhah dalam Al-Bida’ wan Nahyu ‘Anha, sebagaimana dalam Fathul Majid Syarah Kitab At-Tauhid, Asy-Syaikh Abdur Rahman bin Hasan bin Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahumullah, hal. 255.
[15] HR. Abu Daud no. 4033 dari Ibnu Umar radhiyallahu’anhuma, dandishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahihul Jami’, no. 6149.
[16] HR. Al-Bukhari no. 3261 dari Umar bin Khattab radhiyallahu’anhu
[17] HR. An-Nasai no. 3070 dan Ibnu Majah no. 3144 dari Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma
[18] Tafsir Ath-Thobari, 21/39, sebagaimana dalam Tafsir Ibnu Katsir, 6/330.
[19] Tafsir Ibnu Katsir, 6/331.
[20] HR. Al-Bukhari no. 5628, dari Abu Malik Al-‘Asy’ari radhiyallahu’anhu

0 komentar:

Posting Komentar