Dari Ibnu Abbas radhiyallahu’anhu tentang
firman Alah ta’ala, “Dan mereka berkata, ‘Janganlah sekali-kali kamu
meninggalkan penyembahan kepada tuhan-tuhan kamu dan jangan pula sekali-kali
kamu meninggalkan (penyembahan) Wadd, dan jangan pula Suwa’, Yaghits, Ya’uq,
dan Nasr.” (Nuh: 23), beliau berkata, “Ini adalah nama orang-orang shalih dari
kaum Nabi Nuh, ketika mereka mati, setan membisikkan kepada kaum mereka,
‘Buatlah patung-patung ditempat-tempat dimana mereka pernah mengadakan
pertemuan disana, dan mereka menamakan patung-patung itu dengan nama-nama
mereka.’ Maka mereka melakukannya. (Saat itu) patung-patung tersebut belum
disembah. Hingga setelah orang-orang yang membuat patung tersebut meninggal
dunia dan ilmu yang benar telah dilupakan, maka patung-patung itupun disembah.”
(HR. Bukhari no. 4940)
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Tidak
sedikit kalangan salaf berkata, “Ketika mereka mati, orang-orang sering
mengerumuni kuburan mereka, kemudian mereka membuat patung-patung mereka, kemudian dimasa yang panjang berlalu,
dan akhirnya orang-orang itu menyembah mereka.”
Dari Umar bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi
wa sallam bersabda, “Janganlah kalian memujiku secara berlebih-lebihan
sebagaimana orang-orang Nasrani memji (Nabi Isa) putra Maryam secara
berlebih-lebihan, aku hanya seorang hamba, maka katakanlah, ‘Hamba dan Rasul
Allah’.” (HR. Bukhari no. 3445, 68830 dan Muslim)
Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam
bersabda, “Jauhilah ghuluw (sikap berlebihan), karena yang telah
membinasakan orang-orang sebelum kalian adalah sikap ghuluw.” (HR. Ahmad
no. 3238, an-Nasa’i no.3059 dan Ibnu Majah no. 3029)
Dari Ibnu Mas’ud bahwa Rasulullah
Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, “Celakalah orang-orang yang
berlebih-lebihan,” Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam mengucapkannya tiga
kali. (HR. Muslim no. 2670)
Ghuluw adalah sikap berlebih-lebihan dalam
mengagungkan baiik dengan perkataan dan keyakinan. Yakni, `janganlah kalian
mengangkat makhluk dari kedudukannya dimana Allah telah mendudukannya pada
kedudukan tersebut sehingga kalian mendudukkan yang bersangkutan dalam
kedudukan yang hanya patut untuk Allah semata. Walaupun ayat diatas tertuju
kepada Ahli Kitab, namun ia bersifat umum mencakup seluruh umat. Ayat ini
sebagai peringatan bagi umat agar tidak melakukan hal tersebut kepada Nabi
Shallallahu’alaihi wa sallam seperti yang sudah dilakukan oleh orang-orang
Nasrani kepada Nabi Isa ‘Alaihissalam dan orang-orang Yahudi kepada Uzair.
Dalam Qurrah al-Uyun al-Muwahhidin dikatakan,
“Sebagaimana yang terjadi pada perkataan al-Bushiri dan al-Bura’i dan
selainnya, termasuk syirik dan ghuluw yang mereka lakukan sebagai sikap
penentangan terhadap Allah, kitabNya dan RasulNya. Dimana posisi syirik yang
mereka terjatuh ke dalamnya itu dari ucapan seorang laki-laki yang berkata
kepada Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam, “Engkau adalah sayid kami, putra
sayid kami, orang terbaik kami dan putra orang terbaik kami.” Yang mana
Nabi sangat tidak menyukai ucapannya ini.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah
berkata, “Barangsiapa dari umat ini yang meniru orang-orang Yahudi dan
orang-orang Nasrani, bersikap ghuluw terhadap agama dengan sikap ekstrim dan
sikap asal-asalan maka dia telah menyamai mereka.”
Syaikhul Islam juga berkata, “Dalam syair
al-Bushiri tersohor ucapannya,
Wahai
makhluk yang mulia, kepada siapa gerangan aku berlindung
Kecuali
kepadamu pada saat musibah datang silih berganti.
Dan bait-bait sesudahnya dimana isinya adalah
mengikhlaskan doa, permohonan perlindungan, harapan dan berpegang dalam kondisi
paling sulit dan keadaan paling menjepit kepada selain Allah.
Mereka sangat menentang Rasulullah
shallallahu’alaihi wa sallam, dengan berani melakukan apa yang Beliau larang.
Mereka melawan Allah dan RasulNya dengan perlawanan keras. Hal itu karena setan
menampakkan syirik besar ini dalam bentuk mencintai dan mengagungkan Rasulullah
shallallahu’alaihi wa sallam. Setan menunjukkan tauhid dan ikhlas yang
dengannya Allah mengutus Nabi shallallahu’alaihi wa sallam dalam wujud
penghinaan kepada beliau, padahal orang-orang musyrik itulah para peleceh dan
para penghina Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, mereka berlebih-lebihan
dan mengagungkan beliau dengan apa yang sangat dilarang oleh beliau, mereka
tidak menggubris perkataan-perkataan dan perbuatan-perbuatan beliau, mereka
tidak rela kepada hukum beliau dan tidak menerimanya. Padahal mengagungkan
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam hanya terwujud dengan mengagungkan
perintah dan larangan beliau, mengikuti petunjuk beliau, menerapkan sunnah
beliau, menyeru kepada agama yang beliau menyeru kepadanya dan mendukungnya,
loyal kepada orang-orang yang mengamalkannya dan membenci orang-orang yang
menyelisihinya. Kemudian orang-orang musyrik itu menjungkirbalikkan apa yang
Allah dan RasulNya inginkan, baik ilmu maupun amal, mereka melaksanakan apa
yang Allah dan RasulNya larang. Semoga Allah memberi pertolongan.”
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu’anhu tentang firman Alah ta’ala, “Dan mereka berkata, ‘Janganlah sekali-kali kamu meninggalkan penyembahan kepada tuhan-tuhan kamu dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) Wadd, dan jangan pula Suwa’, Yaghits, Ya’uq, dan Nasr.” (Nuh: 23), beliau berkata, “Ini adalah nama orang-orang shalih dari kaum Nabi Nuh, ketika mereka mati, setan membisikkan kepada kaum mereka, ‘Buatlah patung-patung ditempat-tempat dimana mereka pernah mengadakan pertemuan disana, dan mereka menamakan patung-patung itu dengan nama-nama mereka.’ Maka mereka melakukannya. (Saat itu) patung-patung tersebut belum disembah. Hingga setelah orang-orang yang membuat patung tersebut meninggal dunia dan ilmu yang benar telah dilupakan, maka patung-patung itupun disembah.” (HR. Bukhari no.4940)
Ibnu Jarir berkata, Ibnu Humaid menyampaikan
kepada kami dia berkata, Mihran menyampaikan kepada kami, dari Sufyan, dari
Musa, dari Muhammad bin Qais,
“Bahwa Yaghuts, Ya’uq dan Nasr adalah
orang-orang shalih anak cucu nabi Adam, mereka memiliki pengikut-pengikut yang
meneladani mereka. Ketika mereka mati, para pengikut itu berkata, ‘Seandainya
kita membuat patung mereka, niscaya hal itu lebih membuat kita bersemangat dalam ibadah.’ Maka mereka melakukannya.
Ketika mereka mati, datang para penerus dan iblis datang kepada penerus ini dan
berkata, ‘Mereka dulu menyembah orang-orang shalih tersebut, dan dengan
orang-orang shalih itu hujan diturunkan.’ Maka para penerus itu (mulai)
menyembah mereka.”
Dalam Qurrah al-Uyun al-Muwahhidin dikatakan,
“Berhala-berhala yang dibuat dalam rupa
orang-orang shalih ini menjadi semacam tangga kepada penyembahan kepadanya.
Apapun yang disembah selain Allah berupa
kuburan, altar persembahan, berhala, thaghut, maka dasar penyembahannya
adalah ghuluw, sebagaimana hal ini tidak samar bagi orang-orang yang
berfikir. Sebagaimana yang terjadi pada penduduk mesir dan lainya, tuhan
terbesar mereka adalah Ahmad al-Badawi seorang laki-laki yang asal-usulnya
tidak jelas, tidak pula dikenal ilmu dan ibadahnya. Walaupun begitu ia menjadi
tuhan teragung mereka, walaupun yang diketahui darinya hanyalah bahwa dia
pernah masuk masjid pada hari jum’at lalu kencing didalamnya kemudian keluar
dan tidak kembali. Hal ini disebutkan oleh as-Sakhawi dari Abu hayan. Lalu
setan datang menghiasi penyembahan kepadanya, maka orang-orang meyakini bahwa
dia bertindak pada alam semesta, memadamkan kebakaran, dan menyelamatkan orang
tenggelam, orang-orang memberikan ilahiyah, rububiyah dan ilmu ghaib kepadanya.
Mereka meyakini bahwa ia mendengar
ucapan mereka dan menjawab mereka dari negeri-negeri yang jauh. Diantara yang
hadir ada yang sujud dikuburnya.
Sementara itu penduduk di Irak dan orang-orang
sekitarnya seperti Oman meyakini pada Abdul Qadir al-jailani seperti keyakinan
orang-orang mesir terhadap Ahmad al-badawi. Abdul Qadir sendiri adalah salah
seoarang ulama Hanbali muta’akhkhir, dia mempunyai kitab al-Ghunyah, padahal
selain Abdul Qadir dari kalangan ulama Hanbali, yang sebelum dan sesudahnya
banyak yang lebih hebat darinya dari sisi ilmu dan kezuhudan, walaupun Abdul
Qadir juga mempunyai dua perkara ini. Namun orang-orang terfitnah olehnya
dengan fitnah besar seperti yang terjadi pada orang-orang Rafidhah kepada Ahlul
Bait.
Sebab ghuluw tersebut adalah klaim bahwa dia
mempunyai karomah-karomah, padahal selainnya yang lebih baik darinya juga
mempunyai karomah seperti yang terjadi pada sebagian Sahabat Nabi shallallahu’alaihi
wa sallam dan Tabi’in. Demikian memang keadaan ahli syiri dengan orang-orang
yang mereka jadikan sekutu bagi Allah ‘Azza wa jalla.
Lebih besar dari ini adalah ibadah orang-orang
Syam kepada Ibnu Arabi, dedengkot akidah Wihdatul Wujud, dia adalah penduduk
bumi yang paling kafir, kebanyakan orang-orang yang meyakini hal itu padanya
tidak memiliki keutamaan dan tidak mempunyai agama, seperti sebagian
orang-orang mesir lainnya. Hal seperti ini juga terjadi di Najed sebelum datang
dakwah Syaikh Muhammad. Demikian pula Hija, Yaman dan lainnya terjadi pula
penyembahan kepada thagut-thagut, pohon-pohon, batu-batu, kuburan-kuburan yang
menjamur, seperti ibadah mereka kepada jin dan permintaan syafaat oleh mereka
kepada para jin. Dasar ghuluw tersebut adalah bisikan setan.” [Selesai]
Dalam catatan kaki Fathul Majid dikatakan,
“Yang menyeret kepada ghuluw yang berujung
kepada penyembahan kepada mereka selain Allah tidak lain adalah, pengagungan
terhadap kuburan mereka, membangun kubah-kubah diatasnya, menutupinya dengan
kain-kain kelambu, meneranginya dengan lampu-lampu, hadirnya para juru kunci
dan para nelayan berwujud setan manusia padanya untuk menyeru manusia agar
menyembah mereka dengan berbagai macam nazar. Maka harta nazar masuk kedalam
kantong mereka. Jika tidak betapa banyak hamba-hamba Allah yang shalih dari
kalangan Para Sahabat dan para Ulama yang mulia yang mempunyai jasa besar lagi
baik bagi Islam yang dikubur di Mesir, Syam dan lainnya.mereka ini beribu-ribu
kali lebih mulia daripada orang-orang sekelas al-badawi dan ad-Dasuqi, bahkan
sandal mereka lebih mulia dan lebih berharga daripada al-Badawi dan
orang-sepertinya, namun orang-orang musyrik itu tidak mengetahui mereka. Karena
diats kubur mereka tidak dibangun patung-patung dan diatasnya tidak didirikan
berhala-berhala.
Oleh karena itu. Orang yang mengaku bahwa dia
mengunjungi kuburan-kuburan yang diatasnya didirikan berhala-berhala dan
patung-paung ini dengan tujan mengambil pelajaran dan mengingatkan hari akhir
adalah orang yang paling bodoh dan paling jauh dari petunjuk islam yang tidak
mensyariatkan kubah-kubah diatas kuburan. Akan tetapi Islam hanya mengetahui
kuburan tanpa bangunan diatasnya, tidak ada tulisan diatasnya, tidak diselimuti
dengan kain sutera dan lainnya. Sangat-sangat mustahil mengambil pelajaran dari
berhala-berhala dan patung-patung ini.
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Tidak sedikit kalangan salaf berkata, “Ketika mereka mati, orang-orang sering mengerumuni kuburan mereka, kemudian mereka membuat patung-patung mereka, kemudian dimasa yang panjang berlalu, dan akhirnya orang-orang itu menyembah mereka.”
Ini semakna dengan apa yang disebutkan oleh
al-Bukhari dan Ibu Jarir. Hanya saja dia menyebutkan kedatangan orang-orang
kepada kuburan mereka dalam skala rutin sebelum mereka membuat patung-patung
mereka. Dan hal itu termasuk sarana syirik bahkan itulah syirik, karena berdiam
diri dimasjid merupakan ibadah bagi Allah, maka jika mereka berdiam dikuburan ,
maka apa yang mereka lakukan dengan dasar mengagungkan dan mencintai juga
termasuk ibadah kepadanya.
“Kemudian dimasa yang panjang berlalu,
dan akhirnya orang-orang itu menyembah mereka.”
Yakni, zaman berjalan dalam waktu yang panjang.
Sebab ibadah tersebut dan yang mengantarkan
kepadanya adalah apa yang terjadi dari leluhur berupa pengagungan kepada
kuburan melalui i’tikaf diatasnya, dan membuat patung-patung mereka ditempat
pertemuan mereka. Maka hal itu menjadi berhala yang disembah selain Allah ‘Azza
wa jalla. Dengan itu mereka meninggalkan agama Islam yang sebelumnya dipegang
oleh para leluhur mereka (sebelum terjadinya sarana-sarana syirik ini) yang
mengingkari penyembahan kepada patung-patung itu dan pengangkatan mereka
sebagai pemberi syafaat. Ini adalah syirik pertama yang terjadi dimuka bumi.
Al-Qurthubi berkata, “Para leluhur mereka
membuat patung-patung tersebut untuk
meneladani mereka dan mengingat perbuatan-perbuatan baik mereka, sehingga para
leluhur itu bisa bersungguh-sungguh seperti mereka, beribadah kepada Allah
diatas kubur mereka. Selanjutnya datanglah generasi penerus yang tidak memahami
maksud para leluhur, dan setan membisikan kepada mereka bahwa para leluhur
menyembah dan mengagungkan patung-patung tersebut.”
Ibnul Qayyim rahimahulah berkata,
“Setan terus membisiki para pemuja kubur dan
menyampaikan kepada mereka bahwa mendirikan bangunan dan berdiam diri diatasnya
termasuk kecintaan terhadap penghuni kubur
dari kalangan Nabi dan orang-orang shalih, dan bahwa berdoa disana
adalah mustajab. Kemudian dari fase ini setan membawa mereka untuk berdoa untuk
menjadikanya sebagai perantara, bersumpah dengannya atas Allah, padahal
kedudukan Allah lebih agung sehingga tidak patut di ucapkan sumpah atasNya
dengan nama seorang makhlukNya atau Dia diminta dengan nama salah seorang
makhlukNya.
Jika hal itu sudah mereka terima, maka setan
membawa mereka darinya kepada fase berdoa dan beribadah kepadanya, memohon
syafaat kepadanya selain Allah, menjadikan kuburnya sebagai tempat perayaan
dengan lampu-lampu tergantung dan kain-kain kelambu, thawaf dilakukan
disekelilingnya, kuburnya diusap dan dicium, dijadikan sebagai tujuan dan
dilakukan penyembelihan diatasnya. Jika hal ini sudah mereka terima, maka setan
membawa mereka darinya kepada fase berikutnya, yaitu mengajak manusia untuk
menyembahnya, menjadikan sebagai tempat ibadah dan perayaan. Maka mereka
melihat bahwa hal itu lebih bermanfaat bagi merekadalam dunia dan agama mereka.
Semua ini telah diketahui secara mendasar dalam agama Islam bahwa ia bertentangan
dengan apa yang dengannya Allah mengutu RasulNya, berupa misi menegakkan tauhid
dan agar tidak disembah selain Allah.
Jika hal itu sudah mereka terima, maka setan
membawa mereka kepada keyakinan bahwa siapa yang mencegah hal itu berarti dia
telah merendahkan para pemilik derajat mulia ini dari kedudukan mereka dan
menghina mereka, mengklaim bahwa mereka tidak mempunyai kedudukan dan
kehormatan, maka orang-orang musyrik itu marah dan hati mereka membenci,
sebagaimana Allah Ta’ala berfirman, “Dan apabila Nama Allah saja yang
disebut, kesallah hati orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat;
dan apabila sembahan-sembahan selain Allah yang disebut, tiba-tiba mereka
bergirang hati.” (Az-Zumar: 45)
Hal ini merembet kedalam hati banyak orang
dari kalangan orang-orang bodoh dan jahil, termasuk banyak orang dari kalangan
orang-orang yang mengaku berilmu dan beragama, sehingga mereka memusuhi ahli
tauhid dengan tuduhan-tuduhan berat, membuat manusia menjauh dari ahli tauhid
dan untuk selanjutnya orang-orang itu bersikap loyal dan mengagungkan ahli
syirik, mereka mengklaim bahwa mereka adalah wali-wali Allah, para pendukung
agama dan RasulNya, padahal Allah ta’ala menolak hal itu, “(Kenapa Allah
tidak mengazab mereka) padahal mereka bukanlah orang-orang yang berhak
menguasai? Orang-orang yang berhak menguasainya hanyalah orang-orang yang
bertakwa.” (Al-Anfal: 34).” [Demikian ucapan Ibnul Qayyim rahimahullah]
[Disalin dari Fathul Majid syarah Kitab tauhid
Bab Ghuluw (Sikap Berlebihan). Oleh Syaikh Abdurrahman bin Hasan. Edisi
terjemahan Pustaka Sahifa).
0 komentar:
Posting Komentar