Anda pasti mengetahui, minimal pernah mendengar bahwa berbagai kegiatan yang bersifat keagamaan berlangsung disekitar anda. Sebagaimana halnya, andapun menyaksikan atau membaca berbagai tanggapan dan sikap masyarakat telah ditujukan terhadap berbagai kegiatan dan paham keagamaan itu. Diantara kegiatan-kegiatan agama itu ada yang dihujat dan tidak sedikit pula yang disanjung lalu ditiru.
Dari sekian banyak kegiatan keagamaan yang paling banyak disorot, lalu dihujat atau disanjung adalah paham yang disebut dengan paham salaf atau yang sering disebut dengan kaum salafy. Banyak dari tokoh masyarakat yang dengan penuh rasa murka, menghujat paham dan berbagai kegiatan yang berbau salafy. Berbagai tuduhan dan cibiran sering kita dengar, dimulai dari tuduhan: kolot, picik, terbelakang, keras, kaku, tidak santun, hingga tuduhan sebagai paham baru nan sesat.
Walau demikian, tidak sedikit pula yang merasa kagum, terpesona dan bahkan menambatkan banyak harapan positif padanya. Sebagian mereka bahkan menganggapnya, sebagai paham yang benar-benar mewakili agama Islam yang benar, sehingga hanya dengan mengamalkan paham inilah, masa depan umat Islam yang cemerlang dapat diwujudkan.
Kaum salafy yang -sekarang ini dengan mudah kita temui di mana-mana- terutama dikalangan para pelajar dan kaum muda, mengklaim dirinya sebagai pewaris paham keagamaan kaum salaf, alias generasai para sahabat dan ulama’ terdahulu. Kaum salafy senantiasa berjuang untuk membumikan kembali segala warisan agama generasi idola mereka, baik yang berkaitan dengan idiologi, akhlaq, mu’amalah, ilmu ataupun lainnya.
Melalui tulisan singkat ini, saya ingin mengajak pembaca untuk bersama-sama mengenal lebih dekat apa dan bagaimana paham salaf atau kaum salafy yang sebenarnya.
Dahulu, nenek moyang kita berkata: Tak kenal maka tak sayang.
Sebenarnya, saya merasa malu dan merasa tidak pantas untuk menulis tulisan ini, sebab sepenuhnya saya menyadari bahwa saya tidak layak untuk mengenalkan kaum salafy kepada pembaca. Yang demikian itu, dikarenakan saya merasa bahwa diri saya sangatlah jauh dari teladan yang telah mereka torehkan dalam setiap lembaran sejarah Islam. Akan tetapi, hadits berikut telah menginspirasi saya untuk memberanikan diri menuliskan tulisan ini :
عن أَنَسٍ رضي الله عنه أَنَّ رَجُلا سَأَلَ النبي r عن السَّاعَةِ، فقال مَتَى السَّاعَةُ؟ قال: وَمَاذَا أَعْدَدْتَ لها؟ قال: لا شَيْءَ إلاَّ أَنِّي أُحِبُّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ r. فقال: (أنت مع من أَحْبَبْتَ). قال أَنَسٌ: فما فَرِحْنَا بِشَيْءٍ فَرَحَنَا بِقَوْلِ النبي r: (أنت مع من أَحْبَبْتَ). قال أَنَسٌ: فَأَنَا أُحِبُّ النبي r وَأَبَا بَكْرٍ وَعُمَرَ، وَأَرْجُو أَنْ أَكُونَ مَعَهُمْ بِحُبِّي إِيَّاهُمْ، وَإِنْ لم أَعْمَلْ بِمِثْلِ أَعْمَالِهِمْ. رواه البخاري.
Sahabat Anas radliaallahu ‘anhu mengisahkan bahwa: pada suatu hari ada seorang lelaki yang bertanya kepada Nabi shallallahu’alaihi wa sallam tentang hari qiyamat. Kapankah qiyamat tiba? Nabi menjawab: Memangnya apa yang telah engkau persiapkan untuk menghadapinya? Lelaki itu menjawab: Tidak ada telah aku persiapkan, akan tetapi aku mencintai Allah dan Rasul-Nya shallallahu’alaihi wa sallam. Nabi shallallahu’alaihi wa sallam kembali menimpali jawabannya tersebut dengan bersabda: “Engkau akan senantiasa bersama-sama dengan orang yang engkau cintai.” Anas berkata: Kami tidak pernah merasa senang dengan suatu hal seperti kesenangan kami dengan sabda Nabi : “Engkau akan senantiasa bersama-sama dengan orang yang engkau cintai.” Selanjutnya Anas berkata: Aku mencintai Nabi shallallahu’alaihi wa sallam, Abu Bakar, dan Umar, dan aku berharap semoga aku senantiasa bersama-sama dengan mereka berkat kecintaanku kepada mereka, walaupun aku tak kuasa untuk beramal seperti amalan mereka. Riwayat Bukhari.
Saudaraku! Sepenuhnya saya menyadari bahwa saya tak kuasa untuk beramal seperti amalan para ulama’ salaf, akan tetapi saya senantiasa memohon kepada Allah agar saya dibangkitkan bersama berkat kecintaan saya kepada mereka. Sebagaimana saya juga senantiasa berdoa kepada Allah Ta’ala agar dikaruniai keistiqamahan dalam memahami dan meneladani ulama’ salaf.
Saudaraku! Bagaimana dengan anda?
Antara Salafi dan Ahlus sunnah wal jama’ah.
Masyarakat kita, tidak asing lagi dengan sebutan ahlus sunnah wal jama’ah. Bahkan berbagai ormas islam yang ada di masyarakat kita, jauh-jauh hari telah mengklaim dirinya sebagai penganut paham ahlu sunnah wal jama’ah. Mereka telah mengklaim bahwa paham ini adalah satu-satunya paham yang sesuai dengan ajaran Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, sehingga benar-benar mewakili agama islam yang murni.
Nah, untuk lebih mengenal paham yang dinyatakan sebagai paham yang benar-benar mewakili agama Islam yang murni ini, saya akan mengajak pembaca untuk bersama-sama merenungkan hadits Nabi shallallahu’alaihi wa sallam berikut:
(لَيَأْتِيَنَّ عَلَى أُمَّتِى مَا أَتَى عَلَى بَنِى إِسْرَائِيلَ حَذْوَ النَّعْلِ بِالنَّعْلِ، حَتَّى إِنْ كَانَ مِنْهُمْ مَنْ أَتَى أُمَّهُ عَلاَنِيَةً، لَكَانَ فِى أُمَّتِى مَنْ يَصْنَعُ ذَلِكَ، وَإِنَّ بَنِى إِسْرَائِيلَ تَفَرَّقَتْ عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ مِلَّةً، وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِى عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِينَ مِلَّةً، كُلُّهُمْ فِى النَّارِ إِلاَّ مِلَّةً وَاحِدَةً) قَالُوا: وَمَنْ هِىَ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: (مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِى)
“Niscaya umatku akan ditimpa oleh apa yang telah menimpa Bani Israil, perbandingannya bagaikan terompah dibanding dengan terompah (sama persis). Andai kata ada dari mereka orang yang menzinai ibunya dihadapan khalayak ramai, niscaya akan ada dari umatku orang yang melakukannya. Dan sesungguhnya Bani Israil telah terpecah-belah menjadi 72 (tujuh puluh dua) golongan, dan umatku akan terpecah menjadi 73 (tujuh puluh tiga) golongan. Seluruh golongan akan masuk neraka, kecuali satu golongan. Para sahabatpun bertanya: Wahai Rasulullah. siapakah satu golongan itu? Beliau menjawab: (golongan yang menjalankan) ajaran yang aku dan para sahabatku amalkan”. Riwayat At Tirmizy dan Al Hakim.
Dengan tegas, Nabi shallallahu’alaihi wa sallam menjelaskan tentang karakteristik golongan selamat, yaitu golongan yang berpegang teguh dengan agama Islam. Ajaran yang diajarkan, didakwahkan dan diamalkan oleh Nabi e beserta sahabatnya.
Jawaban Nabi e kepada sahabatnya yang bertanya: siapakah golongan yang selamat dari neraka? Dijawab oleh beliau dengan menyebutkan kriteria (sifat)nya, bukan dengan menyebutkan nama orang, atau nama kabilah atau yang serupa.
Jawaban Nabi shallallahu’alaihi wa sallam ini merupakan isyarat, bahwa yang menjadi barometer dalam penilaian suatu golongan ialah: dengan melihat karakteristik, dan perilakunya. Sejauh manakah golongan tersebut menjalankan dan meneladani Nabi shallallahu’alaihi wa sallam dan para sahabatnya? Bukan dengan tokoh tertentu dari golongan itu, siapapun orangnya, setinggi apapun keilmuan dan katakwaannya.
As Syathiby Al Maliky berkata: “Singkat kata, sahabat-sahabat Beliau e senantiasa meneladaninya dan menjalankan petunjuknya. Sungguh mereka telah mendapatkan sanjungan dalam Al Qur’an Al Karim, sebagaimana Nabi Muhammad e yang menjadi suritauladan mereka juga telah mendapatkan sanjungan. Hal itu dikarenakan perangai beliau e ialah Al Qur’an,([1]) Allah Ta’ala berfirman:
]وَإِنَّكَ لَعَلَى خُلُقٍ عَظِيمٍ[ القلم 4
“Dan sesungguhnya engkau benar-benar berbudi pekerti agung”. (QS Al Qalam 4).
Dengan demikian Al Qur’anlah yang sebenarnya menjadi pedoman, sedangkan As-Sunnah berperan sebagai penjabarannya. Sehingga orang yang menjalankan As Sunnah, berarti ia telah menjalankan Al Qur’an.
Inilah yang mendasari ‘Aisyah radhiallahu ‘anhu untuk menyatakan bahwa akhlaq dan perangai Nabi shallallahu’alaihi wa sallam adalah Al Qur’an.
Suatu hari, Sa’ad bin Hisyam bin ‘Amir bertanya kepada ‘Aisyah tentang perangai Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam. Ditanya demikian, ‘Aisyah radhiallahu ‘anha balik bertanya:
أَلَسْتَ تَقْرَأُ الْقُرْآنَ؟ قلت: بَلَى. قالت: فإن خُلُقَ نَبِيِّ اللَّهِ r كان الْقُرْآنَ. رواه مسلم
“Bukankah engkau telah membaca Al Qur’an? Hisyampun berkata: Tentu. Selanjutnya ‘Aisyah berkata: Sesungguhnya akhlaq Nabi Allah r adalah Al Qur’an.’ Riwayat Muslim.
Demikianlah, dahulu Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam menerapkan dan mendidik para sahabatnya dengan Al Qur’an. Hasilnya para sahabat Nabi shallallahu’alaihi wa sallam benar-benar telah memahami kandungan ayat-ayat Al Qur’an dan pada tahap penerapannya mereka senantiasa dalam bimbingan Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam.
Abu Abdirrahman As Sulamy mengisahkan:
عن أبي عبد الرحمن، قال: حدَّثنا الَّذِين كانوا يُقرِئوننا: أنَّهم كَانُوا يَسْتَقَرِئُون من النَّبي r، فكانوا إذا تعلَّموا عَشْر آيات لَمْ يخلِّفُوهَا حَتَّى يَعْمَلُوا بِمَا فِيهَا مِنَ الْعَمَلِ، فَتَعلَّمْنَا القُرْآنَ وَالْعَمَلَ جَمِيْعًا
“Para sahabat yang mengajari kami Al Qur’an menceritakan bahwa: Dahulu mereka belajar Al Qur’an langsung dari Nabi r, dan dahulu mereka bila telah mempelajari sepuluh ayat, mereka tidak berpindah ke ayat-ayat selanjutnya hingga mereka benar-benar telah menguasai kandungan amal dari kesepuluh ayat tersebut. Denga metode demikian ini, kami mempelajari Al Qur’an dan belajar beramal secara bersamaan.”([2])
Tidak mengherankan bila orang yang meneladani mereka, tergolong ke dalam golongan selamat, dan selanjutnya – atas kemurahan Allah- akan masuk ke surga. Inilah makna sabda Nabi shallallahu’alaihi wa sallam:
مَا أَنَا عَلَيهِ وَأَصْحَابِي
“(golongan yang menjalankan) ajaran yang aku dan para sahabatku amalkan”.
Inilah ajaran yang diamalkan oleh Nabi shallallahu’alaihi wa sallam dan para sahabatnya, dan ini pulalah makna hadits di atas.
Saudaraku, saya kira anda telah sering mendengar atau membaca bahwa hadits di atas. Akan tetapi perlu diingat bahwa pada sebagian jalur riwayatnya dinyatakan bahwa Nabi shallallahu’alaihi wa sallam menafsirkan golongan yang selamat dengan sabdanya:
وَهِيَ الجَمَاعَةُ
“Mereka itu ialah Al Jama’ah”.([3])
Imam Abu Syamah As Syafi’i (w. 665 H) berkata: “Acapkali datang perintah untuk berpegang teguh dengan Al Jama’ah, maka yang dimaksudkan ialah: berpegang teguh dengan kebenaran dan para pengikutnya, walaupun mereka berjumlah sedikit, dan yang menyelisihinya berjumlah banyak. Hal ini karena kebenaran ialah ajaran yang diamalkan oleh Al Jama’ah generasi pertama semenjak Nabi e dan para sahabatnya radliallahu ‘anhum-. Adapun banyaknya jumlah penganut kebatilan yang ada setelah mereka tidaklah layak untuk dipertimbangkan”.([4])
Pernyataan beliau ini selaras dengan apa yang dinyatakan oleh As Syathiby di atas.
Ibnu Abil ‘Izzi Al Hanafi (w. 792 H) berkata: “Al Jama’ah ialah jama’ah kaum muslimin, dan mereka itu ialah para sahabat, serta seluruh orang yang meneladani mereka hingga hari qiyamat”.([5])
Subhanallah! Tiga orang ulama’ yang saling berjauhan, tidak pernah saling bertemu, dan berbeda mazhab([6]) sepakat dalam menafsirkan Al Jama’ah. Mereka menafsirkan Al Jamaah dengan para sahabat Nabi radhiallahu ‘anhum dan seluruh orang yang meneladani mereka, terlepas dari perbedaan mazhab fiqih atau daerah, atau thoriqat dan guru.
Al Jama’ah ini, dikemudian hari lebih dikenal dengan sebutan ahlus sunnah wal jama’ah, yang artinya para penganut sunnah Nabi shallallahu’alaihi wa sallam yang senantiasa menyeru kepada persatuan. Dikatakan Ahlus Sunnah karena mereka benar-benar menerapkan As Sunnah dengan pemahaman ketiga, yang mencakup seluruh ajaran agama Islam. Dan Ahlul Jama’ah, karena mereka senantiasa menjaga persatuan yang dibangun diatas kebenaran, serta menyeru kepadanya. Mereka juga senantiasa merajut persatuan umat Islam di atas asas persatuan yang tidak akan pernah pudar atau luntur dan lekang karena diterpa badai zaman, yaitu Al Qur’an dan As Sunnah dengan pemahaman generasi unggulan umat Islam, yaitu para sahabat Nabi radhiallahu ‘anhum.
Selaras dengan berjalannya waktu, Ahlus sunnah wal jama’ah, juga disebut dengan sebutan salafy (salafiyun). Salaf dalam bahasa arab memiliki arti generasi terdahulu. Mereka disebut dengan sebutan ini, karena mereka senantiasa mengikuti dan meneladani generasi terdahulu dari umat Islam, yaitu sahabat Nabi r dan para ulama’ yang sejalan dengan mereka di setiap masa.
Dengan sekelumit pemaparan di atas, jelaslah bagi kita, bahwa Ahl As Sunnah wa Al Jama’ah ialah Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, para sahabat dan seluruh orang yang meneladani mereka. Dengan demikian, tidak tepat bila ahlus sunnah wal jama’ah ditafsikan dengan penganut paham imam tertentu atau mazhab tertentu, atau organisasi tertentu.
Bagaimana tidak, Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam sendiri tatkala dikonfirmasi ulang tentang maksud beliau dari al Jama’ah, beliau menjawab:
مَا أَنَا عَلَيهِ وَأَصْحَابِي
“(mereka ialah golongan yang menjalankan) ajaran yang aku dan para sahabatku amalkan”.
Catatan:
[1] ) Beliau mengisyaratkan kepada perkataan ‘Aisyah –radliallahu ‘Anha-: “Adalah akhlaq Rasulullah e ialah Al Qur’an”. Riwayat Ahmad, dan Al Bukhari.
[2] ) Tafsir At Thobary 1/80.
[3] ) Al I’itishom, oleh As Syathiby 2/443.
[4] ) Al Ba’its ‘Ala Ingkari Al Bida’ wa Al Hawadits, oleh Abu Syamah As Syafi’i, hal:34.
[5] ) Syarah Al Aqidah At Thohawiyyah, oleh Ibnu Abil ‘Izz Al Hanafi hal: 374.
[6] ) Abu Syamah bertempat tinggal di Baitul Maqdis Palestina, wafat pada thn: 665 H, dan bermazhabkan Syafi’i, As Syathiby bertempat tinggal di Andalus, wafat thn: 790 H, dan bermazhabkan Maliki, sedangkan Ibnu Abil ‘Izzi hidup di Damasqus, kemudian pindah ke Mesir, wafat pada thn: 792 H, dan bermazhabkan Hanafi. Kesepakatan pendapat ini bukan karena faktor kebetulan, akan tetapi karena ketiganya berbicara atas dasar ilmu yang bersumberkan dari sumber yang sama, yaitu Al Qur’an dan Hadits Nabi e. Perbedaan mazhab ketiganya tidak menjadikan mereka saling mengklaim bahwa Ahlus sunnah wal jama’ah ialah mazhabnya sendiri. Hendaknya hal ini menjadi bahan renungan anda bila anda benar-benar menginginkan keselamatan di dunia ataupun di akhirat.
0 komentar:
Posting Komentar