Keajaiban Dakwah
Iwan Januar
Namanya Dede. Ia saya kenal sejak masih duduk di bangku SMA, berkecimpung di dunia dakwah. Dulu ia bagian dari sejumlah remaja yang rajin ikut kajian-kajian yang saya dan beberapa kolega adakan. Seringkali ia juga jadi bagian panitianya. Berpeluh-peluh tanpa bayaran sekedar ingin mengadakan pengajian agar kawan-kawannya sesama anak sekolah mau datang, duduk, dan menikmati pengajian.
Itu dulu.
Sekarang ia bukan lagi anak SMA. Ia sudah seorang bapak. Tapi sikapnya pada pengajian dan dunia dakwah tetap konstan. Bahkan melebihi saya. Dede bukan lagi jadi penikmat pengajian, tapi sudah menjadi ustadz. Ia sudah duduk menjadi khotib, pengisi pengajian di beberapa majlis talim, dan pengajian lain-lain.
Pergaulannya juga bukan lagi dengan anak-anak SMA, tapi dengan para asatidz, kyai, dan habaib. Ia masuk ke jaringan mereka, jadi member grup WA mereka, dan lagi-lagi bukan sebagai penikmat. Terkadang ia menyampaikan materi, dan terkadang terlibat adu argumentasi dalam soal dakwah.
Dede yang dulu remaja SMA sederhana, nyantri di sebuah pesantren kecil, bermetamorfosa menjadi hamalatud da’wah yang luar biasa. Masuk ke orbit lain yang lebih luas dan tinggi.
Dari sekian remaja yang saya kenal, bukan hanya satu dua yang kemudian Allah lejitkan kedudukan mereka di dunia dakwah. Ada yang sudah menjadi dosen di kampus, penggerak majlis talim, masuk ke barisan kyai dan ustadz, dll. Tapi semuanya masih dalam jalur yang sama seperti mereka remaja dulu; berdakwah perjuangkan syariah dan khilafah, hanya dalam level yang berbeda. Level lebih tinggi lagi.
Ucapan mereka yang sering membuat saya terharu dan ingin menangis adalah, “Pak, ingat saya nggak? Dulu saya kan yang undang bapak ke sekolah untuk isi pengajian.”
Saya hanya bisa berucap dalam hati; alhamdulillah mereka adalah orang-orang yang istiqomah. Berdiri di atas agama Allah sejak remaja bukan karena tren, tapi karena keyakinan bahwa ini adalah jalan hidup yang harus dilewati dengan berbagai perjuangan dan pengorbanan.
Mereka tidak silau habiskan masa muda dengan berfoya-foya, berpacaran, lalu keluar dari orbit dakwah. Mereka jadikan terus dakwah sebagai poros kehidupan. Bahkan mereka juga tidak tergiur dengan pekerjaan yang bisa menghasilkan nafkah besar, bila itu melalaikan dakwah. Dan Allah Maha Menepati JanjiNya. Ia muliakan mereka yang istiqomah di jalanNya.
* * * *
Keajaiban Lain:
Namanya Pak Adi, saya lupa nama lengkapnya. Sudah lanjut usia, 65 tahun. Beliau adalah penarik becak di Bandung. Kesibukan lainnya? Berdakwah! Kawan-kawan saya bercerita kalau Pak Adi tidak pernah absen dari setiap aksi dakwah. Meski itu harus mengeluarkan ongkos yang cukup lumayan sekalipun!
Keadaan ekonominya yang lemah tidak membuat beliau menjadi minder berada di barisan dakwah yang rata-rata anak muda, mahasiswa, karyawan, dosen, atau pengusaha. Ia duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi dengan mereka. Bahkan ia pernah berorasi di lapangan Gasibu Bandung di hadapan ribuan peserta aksi. Tiada gentar.
Di luar dugaan orasi Pak Adi memukau. Ia sodorkan data-data kerusakan umat dengan lantang. Bisakah kita bayangkan ada tukang becak tapi bicara dengan sistematis lengkap dengan data statistik?
Usai orasi seorang petugas kepolisian bertanya pada panitia, “Itu dosen darimana?” Allahu Akbar!
Ujian lain juga dialami bapak kita yang luar biasa ini. Putranya mengalami gangguan kesehatan serius sehingga membutuhkan perawatan di rumah yang cukup intens. Tapi itu tidak menjadi alasan buat Pak Adi untuk bolos dalam setiap liqo atau pertemuan. Agar putranya tidak rewel jika ditinggal mengaji, maka ia mandikan dulu sejak pagi, ia pijiti agar merasa segar dan nyaman bila kemudian ditinggal beberapa saat untuk hadir dalam liqo’. Masya Allah!
Jangan bicara soal infaq dakwah, kita bisa dibuat malu hati oleh Pak Adi. Meski pekerjaannya hanya penarik becak, beliau tidak pernah mengeluh bila harus mengeluarkan infak. Agar nafkah keluarga dan infak dakwah dapat terpenuhi, ia mencari penghasilan tambahan. Ia punguti botol-botol plastik bekas di kali kecil dekat rumahnya. Ia jual dan keuntungannya ia pakai untuk keperluan dapur dan infak dakwah!
Ketika ada agenda besar yang membutuhkan dana besar. Pak Adi sama sekali tak mengeluh. Lagi-lagi beliau cari penghasilan tambahan. Apa? Membajak sawah tetangganya. Upahnya ia tabung sampai akhirnya bisa melunasi keperluan dana dakwah.
“Kalau beliau berinfak, uangnya recehan, kang,” tutur seorang kawan. Ah, saya jadi teringat sahabat Abu ‘Uqail al-Anshari yang tetap berusaha keras bisa berinfak untuk keperluan Perang Tabuk. Kala itu Abdurrahman bin Auf berinfak sebanyak 4 ribu dirham.
Abu ‘Uqail bukan orang kaya, bahkan tergolong miskin, lalu ia bekerja keras agar bisa turut membiayai ekspedisi Tabuk yang berjalan di masa sulit. Ekonomi sedang paceklik. Akhirnya ia punya sedikit harta. Ia infakkan segantang kurma untuk pasukan Tabuk.
ketika orang-orang munafik tahu mereka melecehkannya. Membandingkan infak Abu ‘Uqail dengan Abdurrahman bin Auf. Tapi kemudian Allah SWT. membela Abu ‘Uqail dengan firmanNya:
(Orang-orang munafik itu) yaitu orang-orang yang mencela orang-orang mukmin yang memberi sedekah dengan sukarela dan (mencela) orang-orang yang tidak memperoleh (untuk disedekahkan) selain sekedar kesanggupannya, maka orang-orang munafik itu menghina mereka. Allah akan membalas penghinaan mereka itu, dan untuk mereka azab yang pedih (TQS. at-Taubah: 79).
Abu ‘Uqail dan Pak Adi mematahkan anggapan kalau infak dakwah itu khusus bagi orang kaya semata. Ada sebagian orang bilang; kita wajib kaya agar bisa bersedekah dan berdakwah! Dakwah tak bisa dibangun pakai daun, harus pakai uang! Dan itu berarti harus kaya!
Ah, saya bersyukur ada orang seperti Pak Adi yang bisa mematahkan argumen absurd macam itu. Dan Allah pun memuji amal orang-orang seperti Abu ‘Uqail – dan insya Allah Pak Adi.
Sahabat, bila kita ingin mencari berbagai alasan untuk meninggalkan dakwah, sesungguhnya akan selalu tersedia. Tapi ada orang yang justru mencari jalan lain agar tetap bisa berdakwah, karena bagi mereka dakwah adalah seperti darah yang harus mengalir, dan udara yang harus dihirup.
Orang-orang yang terus mencari jalan agar bisa menapakkan kaki di jalan dakwah kelak akan berjumpa dengan keajaiban-keajaiban. Anak-anak muda yang berbaris di barisan dakwah dan setia berada di sana, kaum dluafa yang tegar berdiri tanpa meminta belas kasihan atau mengeluh, mereka semua akan diberikan keajaiban oleh Allah SWT.
Karenanya, alasan apapun tak bisa diterima untuk meninggalkan dakwah. Bila kita sakit, maka ada orang sakitnya lebih berat tapi tetap berdakwah. Bila kita fakir, maka ada orang lebih miskin yang sanggup berdakwah bahkan berinfak. Bila kita disibukkan dengan keluarga, maka ada orang yang harus merawat keluarganya tapi tetap berdakwah. Lalu adakah tersisa alasan untuk kita?
***
Iwan Januar
Namanya Dede. Ia saya kenal sejak masih duduk di bangku SMA, berkecimpung di dunia dakwah. Dulu ia bagian dari sejumlah remaja yang rajin ikut kajian-kajian yang saya dan beberapa kolega adakan. Seringkali ia juga jadi bagian panitianya. Berpeluh-peluh tanpa bayaran sekedar ingin mengadakan pengajian agar kawan-kawannya sesama anak sekolah mau datang, duduk, dan menikmati pengajian.
Itu dulu.
Sekarang ia bukan lagi anak SMA. Ia sudah seorang bapak. Tapi sikapnya pada pengajian dan dunia dakwah tetap konstan. Bahkan melebihi saya. Dede bukan lagi jadi penikmat pengajian, tapi sudah menjadi ustadz. Ia sudah duduk menjadi khotib, pengisi pengajian di beberapa majlis talim, dan pengajian lain-lain.
Pergaulannya juga bukan lagi dengan anak-anak SMA, tapi dengan para asatidz, kyai, dan habaib. Ia masuk ke jaringan mereka, jadi member grup WA mereka, dan lagi-lagi bukan sebagai penikmat. Terkadang ia menyampaikan materi, dan terkadang terlibat adu argumentasi dalam soal dakwah.
Dede yang dulu remaja SMA sederhana, nyantri di sebuah pesantren kecil, bermetamorfosa menjadi hamalatud da’wah yang luar biasa. Masuk ke orbit lain yang lebih luas dan tinggi.
Dari sekian remaja yang saya kenal, bukan hanya satu dua yang kemudian Allah lejitkan kedudukan mereka di dunia dakwah. Ada yang sudah menjadi dosen di kampus, penggerak majlis talim, masuk ke barisan kyai dan ustadz, dll. Tapi semuanya masih dalam jalur yang sama seperti mereka remaja dulu; berdakwah perjuangkan syariah dan khilafah, hanya dalam level yang berbeda. Level lebih tinggi lagi.
Ucapan mereka yang sering membuat saya terharu dan ingin menangis adalah, “Pak, ingat saya nggak? Dulu saya kan yang undang bapak ke sekolah untuk isi pengajian.”
Saya hanya bisa berucap dalam hati; alhamdulillah mereka adalah orang-orang yang istiqomah. Berdiri di atas agama Allah sejak remaja bukan karena tren, tapi karena keyakinan bahwa ini adalah jalan hidup yang harus dilewati dengan berbagai perjuangan dan pengorbanan.
Mereka tidak silau habiskan masa muda dengan berfoya-foya, berpacaran, lalu keluar dari orbit dakwah. Mereka jadikan terus dakwah sebagai poros kehidupan. Bahkan mereka juga tidak tergiur dengan pekerjaan yang bisa menghasilkan nafkah besar, bila itu melalaikan dakwah. Dan Allah Maha Menepati JanjiNya. Ia muliakan mereka yang istiqomah di jalanNya.
* * * *
Keajaiban Lain:
Namanya Pak Adi, saya lupa nama lengkapnya. Sudah lanjut usia, 65 tahun. Beliau adalah penarik becak di Bandung. Kesibukan lainnya? Berdakwah! Kawan-kawan saya bercerita kalau Pak Adi tidak pernah absen dari setiap aksi dakwah. Meski itu harus mengeluarkan ongkos yang cukup lumayan sekalipun!
Keadaan ekonominya yang lemah tidak membuat beliau menjadi minder berada di barisan dakwah yang rata-rata anak muda, mahasiswa, karyawan, dosen, atau pengusaha. Ia duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi dengan mereka. Bahkan ia pernah berorasi di lapangan Gasibu Bandung di hadapan ribuan peserta aksi. Tiada gentar.
Di luar dugaan orasi Pak Adi memukau. Ia sodorkan data-data kerusakan umat dengan lantang. Bisakah kita bayangkan ada tukang becak tapi bicara dengan sistematis lengkap dengan data statistik?
Usai orasi seorang petugas kepolisian bertanya pada panitia, “Itu dosen darimana?” Allahu Akbar!
Ujian lain juga dialami bapak kita yang luar biasa ini. Putranya mengalami gangguan kesehatan serius sehingga membutuhkan perawatan di rumah yang cukup intens. Tapi itu tidak menjadi alasan buat Pak Adi untuk bolos dalam setiap liqo atau pertemuan. Agar putranya tidak rewel jika ditinggal mengaji, maka ia mandikan dulu sejak pagi, ia pijiti agar merasa segar dan nyaman bila kemudian ditinggal beberapa saat untuk hadir dalam liqo’. Masya Allah!
Jangan bicara soal infaq dakwah, kita bisa dibuat malu hati oleh Pak Adi. Meski pekerjaannya hanya penarik becak, beliau tidak pernah mengeluh bila harus mengeluarkan infak. Agar nafkah keluarga dan infak dakwah dapat terpenuhi, ia mencari penghasilan tambahan. Ia punguti botol-botol plastik bekas di kali kecil dekat rumahnya. Ia jual dan keuntungannya ia pakai untuk keperluan dapur dan infak dakwah!
Ketika ada agenda besar yang membutuhkan dana besar. Pak Adi sama sekali tak mengeluh. Lagi-lagi beliau cari penghasilan tambahan. Apa? Membajak sawah tetangganya. Upahnya ia tabung sampai akhirnya bisa melunasi keperluan dana dakwah.
“Kalau beliau berinfak, uangnya recehan, kang,” tutur seorang kawan. Ah, saya jadi teringat sahabat Abu ‘Uqail al-Anshari yang tetap berusaha keras bisa berinfak untuk keperluan Perang Tabuk. Kala itu Abdurrahman bin Auf berinfak sebanyak 4 ribu dirham.
Abu ‘Uqail bukan orang kaya, bahkan tergolong miskin, lalu ia bekerja keras agar bisa turut membiayai ekspedisi Tabuk yang berjalan di masa sulit. Ekonomi sedang paceklik. Akhirnya ia punya sedikit harta. Ia infakkan segantang kurma untuk pasukan Tabuk.
ketika orang-orang munafik tahu mereka melecehkannya. Membandingkan infak Abu ‘Uqail dengan Abdurrahman bin Auf. Tapi kemudian Allah SWT. membela Abu ‘Uqail dengan firmanNya:
(Orang-orang munafik itu) yaitu orang-orang yang mencela orang-orang mukmin yang memberi sedekah dengan sukarela dan (mencela) orang-orang yang tidak memperoleh (untuk disedekahkan) selain sekedar kesanggupannya, maka orang-orang munafik itu menghina mereka. Allah akan membalas penghinaan mereka itu, dan untuk mereka azab yang pedih (TQS. at-Taubah: 79).
Abu ‘Uqail dan Pak Adi mematahkan anggapan kalau infak dakwah itu khusus bagi orang kaya semata. Ada sebagian orang bilang; kita wajib kaya agar bisa bersedekah dan berdakwah! Dakwah tak bisa dibangun pakai daun, harus pakai uang! Dan itu berarti harus kaya!
Ah, saya bersyukur ada orang seperti Pak Adi yang bisa mematahkan argumen absurd macam itu. Dan Allah pun memuji amal orang-orang seperti Abu ‘Uqail – dan insya Allah Pak Adi.
Sahabat, bila kita ingin mencari berbagai alasan untuk meninggalkan dakwah, sesungguhnya akan selalu tersedia. Tapi ada orang yang justru mencari jalan lain agar tetap bisa berdakwah, karena bagi mereka dakwah adalah seperti darah yang harus mengalir, dan udara yang harus dihirup.
Orang-orang yang terus mencari jalan agar bisa menapakkan kaki di jalan dakwah kelak akan berjumpa dengan keajaiban-keajaiban. Anak-anak muda yang berbaris di barisan dakwah dan setia berada di sana, kaum dluafa yang tegar berdiri tanpa meminta belas kasihan atau mengeluh, mereka semua akan diberikan keajaiban oleh Allah SWT.
Karenanya, alasan apapun tak bisa diterima untuk meninggalkan dakwah. Bila kita sakit, maka ada orang sakitnya lebih berat tapi tetap berdakwah. Bila kita fakir, maka ada orang lebih miskin yang sanggup berdakwah bahkan berinfak. Bila kita disibukkan dengan keluarga, maka ada orang yang harus merawat keluarganya tapi tetap berdakwah. Lalu adakah tersisa alasan untuk kita?
***
0 komentar:
Posting Komentar