Jawaban atas vonis sesat terhadap Tasawuf

Menurut Imam Malik (94-179 H/716-795 M), “Man tassawaffa wa lam yatafaqah faqad tazandaqa, wa man tafaqaha wa lam yatsawwaf faqad fasadat, wa man tafaqaha wa tassawafa faqad tahaqqaq, (Barangsiapa mempelajari/mengamalkan tasawuf tanpa fiqh maka dia telah zindik, dan barangsiapa mempelajari fiqh tanpa tasawuf dia tersesat, dan siapa yang mempelari tasawuf dan fiqh dia meraih kebenaran).” Dengan demikian bahwa Ilmu Tasawuf dan Ilmu Fiqh umpama dua jemari yang tak dapat dipisahkan, dan tidak untuk diabaikan dimana keduanya sama-sama penting suatu perpaduan antara akal dan hati.

Seorang tokoh Sufi modern, Al Junaid Al Baghdadi (w. 289H.) menyebutkan bahwa, “Tasawuf adalah riyadhah (latihan) membebaskan hati dari hayawaniyyah (sifat yang menyamai binatang) dan menguasai sifat basyariah (kemanusiaan) untuk memberikan tempat bagi sifat-sifat kerohanian yang suci, berpegang pada ilmu dan kebenaran, dan benar-benar menepati janji terhadap Allah swt, dan mengikuti sunnah Rasulullah SAW.”

رُبَّ أشْعَثَ أغْبَرَ مَدْفُوْعٌ إلَى الأبْوَابِ لَوْ أقْسَمَ عَلَى اللهِ لَأَبَرَّهُ. (رَوَاهُ مُسْلِمٌ فِي الصّحِيْح)
“Berapa banyak orang yang berpenampilan lusuh, compang-camping dan berdebu, terusir dari pintu-pintu, padahal bila mereka bersumpah kepada Allah maka Allah akan mengabulkannya”. (HR. Muslim dalam kitab Shâhîh-nya)

Jawaban atas vonis sesat terhadap Tasawuf
Jawaban : Tasawwuf atau Ajaran Sufi sangat dianjurkan
Tasawwuf Menurut pandangan 4 Mazhab :
Madzhab Hanafiyah
Imam Abu Hanifah (Pendiri Mazhab Hanafi) berkata : Jika tidak karena dua tahun, Nu’man telah celaka. Karena dua tahun saya bersama Sayyidina Imam Jafar as-Shodiq, maka saya mendapatkan ilmu spiritual yang membuat saya lebih mengetahui jalan yang benar. (Kitab Durr al Mantsur)
Madzhab Malikiyah
Imam Maliki (Pendiri Mazhab Maliki) berkata : Barangsiapa mempelajari/­mengamalkan tasawuf tanpa fiqih maka dia telah zindik, dan barangsiapa mempelajari fiqih tanpa tasawuf dia tersesat, dan siapa yang mempelari tasawuf dengan disertai fiqih dia meraih kebenaran. (’Ali al-Adawi dalam kitab Ulama fiqih, vol. 2, hal. 195 yang meriwayatkan dari Imam Abul Hasan).
Madzhab Syafi’iyah
Imam Syafi’i (pendiri mazhab Syafi’i) berkata : Saya berkumpul bersama orang-orang sufi dan menerima 3 ilmu: Mereka mengajariku bagaimana berbicara, Mereka mengajariku bagaimana memperlakukan orang lain dengan kasih sayang dan kelembutan hati, Mereka membimbingku ke dalam jalan tasawuf. (Riwayat dari kitab Kasyf al-Khafa dan Muzid al Albas, Imam ‘Ajluni, vol. 1, hal. 341)
Madzhab Hanabilah
Imam Ahmad bin Hanbal (Pendiri mazhab Hambali) berkata : Anakku, kamu harus duduk bersama orang-orang sufi, karena mereka adalah mata air ilmu dan mereka selalu mengingat Allah dalam hati mereka. Mereka adalah orang-orang zuhud yang memiliki kekuatan spiritual yang tertinggi. Aku tidak melihat orang yang lebih baik dari mereka. (Ghiza al Al-bab, vol. 1, hal. 120 ; Tanwir al Qulub, hal. 405, Syaikh Amin al Kurdi)
Mereka yang melarang Tasawwuf selalu membawakan ayat berikut :
Pada hari ini Aku telah sempurnakan bagi kalian agama kalian, Aku telah cukupkan nikmat-Ku atas kalian, dan Aku ridha Islam sebagai agama kalian.” (QS. Al-Maa’idah: 3)
Alasan mereka karena agama ini sudah sempurna maka tidak perlu lagi ada tambahan, ilmu tasawwuf menurut mereka menambah-nambah dalam agama dan tidak ada pada zaman Nabi saw juga pada masa Sahabat, jika demikian ilmu tajwid, ilmu tafsir, ilmu hadits dan disiplin-disiplin ilmu lainnya adalah juga tambahan dalam ajaran Islam karena semua ilmu itu tidak ada pada jaman Nabi saw juga pada masa Sahabat . Apakah karena ada ilmu-ilmu ini agama Islam jadi tidak sempurna?!
Kemudian juga mereka mengatakan kaum/ ulama sufi itu tidak ada pada jaman Nabi saw dan tidak ada juga pada masa Sahabat, jika itu alasannya maka mudahits/ulama hadits, mufassir/ulama tafsir dan mereka kaum/ ulama muhammadiyah, nu, sunny, salafi, filosof, sastrawan, budayawan, sejarawan, dll yang semua mereka me-lebel-i dirinya ‘dalam Islam’ juga tidak ada pada jaman Rasulallah saw dan para Sahabat. Ulama hadits ada setelah 200an tahun kenabian, ulama tafsir memang sudah ada pada masa sahabat Nabi saw tetapi yang memberi lebel mereka sebagai ‘ulama tafsir’ adalah ulama yang jauh belakangan yaitu saat lahirnya disiplin ilmu tafsir Quran yang kira-kira bersamaan keberadaannya dengan disiplin ilmu hadits, Ilmu Tasawwuf ada pada masa setelah itu sekitar 300an tahun setelah hijrah, apalagi kaum/ ulama yang lain daripada disiplin ilmu ini pastilah lebih baru, jika tasawuf/ ulama sufi di vonis bid’ah mestinya yang lebih kemudian datang lebih bid’ah lagi kan?!
Kemudian jika mereka mengatakan betul kaum atau kelompok kami memang tidak ada pada masa Nabi saw dan Sahabat tetapi Ajaran kaum/ulama kami mengikut salafus-shaleh yang berdasarkan Al-Quran dan Hadits, maka kami pun mestinya boleh juga mengatakan hal yang sama bahwa ajaran sufi adalah mengikut salafus-shaleh yang berdasarkan Al-Quran dan Hadits juga.
Kemudian mereka mengatakan ulama sufi melakukan perbuatan yang tidak dicontohkan oleh Nabi saw, tentu si penuduh harus mendatangkan bukti kuat atas segala tuduhannya itu bukan dari prasangka, kalau pun tuduhan mereka terbukti benar tidak juga dapat menyesatkan sufi seluruhnya, karena itu hanya oknum sufi, begitupun juga jika terjadi dalam manhaj/kelompok lain, kalau ada seorang dari kelompok lain itu melakukan perbuatan dan perkataan yang tidak dicontohkan oleh Rasulallah saw dan bertentangan dengan Al-Quran, namun kita katakan itu adalah oknum tidak sertamerta seluruhnya di vonis bid’ah, sesat dan masuk neraka.
Lalu mereka katakan bukan oknum tetapi di dalam ilmu tasawwuf terdapat ajaran yang menyesatkan dan bertentangan dengan Nash, kami katakan hal ini perlu di kaji dan dibuktikan kasus per kasus, ajaran yang mana, jika benar ada ajarannya yang menyimpang, kami katakan itu juga oknum yang salah dalam memahami ajaran sufi, kalau ajaran-nya yang menyimpang tentu tidak mungkinlah 4 Imam Mazhab menganjurkan mengikuti pelajaran tasawuf dari orang sufi. Ajaran sufi ini kemudian berkembang dan banyak di “amin” kan oleh banyak ulama dari masa ke masa, terlalu banyak yang mereka vonis sesat jika mereka menilai secara keseluruhan seperti itu
Yang sering terjadi adalah orang yang diluar golongan sufi yang salah memahami, mereka menilai orang sufi dari pemahaman mereka sendiri tidak datang langsung dari pengikut sufi nya, jadi informasi dan tuduhan itu didapat dari kalangan internal mereka, tidak di check and re-check terlebih dahulu kepada penganut sufi sendiri, dan ternyata memang mereka ini tidak memahami dengan benar ungkapan-ungkapan guru-guru sufi yang sering terkesan nyeleneh dari kebiasaan yang sering mereka dengar, karena ungkapan-ungkapan sufi ini sering kali tidak bisa dimaknai secara dzahir kalimat, tetapi ada hakikat yang tersirat dibalik kalimat yang tersurat
Imam al-Ghazali mengatakan dalam kitabnya ‘Al-Munqidz min adh- Dhalal’ :
” Membantah suatu faham, sebelum memahami benar hakikat faham tersebut, hanyalah ke sia-siaan dan bantahan yang serampangan,… ”
Metode dasar atau yang menjadi basic dalam pelajaran ilmu sufi itu adalah dengan empat maqom (level) ilmu :
Syariat
Tharikat
Hakikat
Makrifat
Metode ini tak ubahnya sama seperti adanya banyak metode dalam disiplin ilmu-ilmu lain, seperti metode bil hall wa bil lisan dalam ilmu dakwah Islam, metode iqro’ dalam membaca al-Quran, metode jahr wa ta’dil dalam ilmu hadits, metode balaghoh, bayan, nasakh-mansuk dalam ilmu ulumul-Quran dll, semata-mata semua metode ini hanya untuk memudahkan memahami ilmu-ilmu dalam agama Islam
Dalam Ilmu Aqidah, ulama asy‘ariyah menggunakan metode sifat 20 untuk menerangkan sifat-sifat Allah, ulama salafi menggunakan metode pembagian tiga tauhid untuk mentauhidkan Allah, begitu pula dalam tasawuf, ulama sufi membagi empat bagian tersebut di atas untuk tujuan mengenal Allah.
Ilmu Tasawuf adalah bagian dari Ilmu Aqidah, yang ajaran nya mempelajari tentang bagaimana cara mengenal Allah, apakah mengenal Allah tidak ada dalam Islam?! Justru awal agama Islam itu mesti kenal siapa yang disembah! setelah itu barulah bagaimana cara menyembah nya dan kemudian siapakah kita yang menyembah itu
Dalam beribadah, tiga komponen yang harus benar tidak boleh salah, yaitu:
Siapa yang disembah
Bagaimana cara menyembah
Siapa yang menyembah
Mengetahui tiga komponen ini dengan benar adalah focus daripada ajaran sufi, mengetahui ‘siapa kita’ dan ‘siapa yang disembah’, tentu harus dimulai dengan kebersihan/kesucian hati karena tidak mungkin Allah Yang Maha Suci itu dapat dikenal oleh orang yang hatinya kotor, menurut Imam Al-Ghazali untuk membersihkan hati seorang murid sufi harus terlebih dahulu menempuh jalan :
Takholi; membuang semua sifat-sifat tercela
Tahalli; mengisi dengan sifat-sifat terpuji dan
Tajalli; membuang ke-aku-an diri (membuang rasa ‘semua karena aku’ menjadi ‘semua karena Allah’)
Sehingga bila disimpulkan, ilmu tasawwuf itu adalah ilmu untuk mengetahui bagaimana cara menyucikan jiwa, menjernihan akhlaq, membangun dhahir dan batin serta mengenal dan mendekatkan diri kepada Allah untuk memporoleh kebahagian yang abadi
Ahli Sufi adalah Ahlus Suffah
Namun sebagian ulama menyandarkan kaum Ahli Sufi itu dengan maksud Ahlus Suffah, yaitu kaum miskin sahabat Rasulullah saw. yang mengabdikan dirinya di jalan Allah, yang tinggal di serambi masjid Nabawi. Mereka disebut ahlus shuffah atau ashabus shuffah. (Al-Asqalani dalam Hadyus Sâri Muqaddimah Fathil Bâri, hal. 221)
Hal ini diperkuat dengan pernyataan shahabat Abu Hurairah ra.: “Aku pernah melihat tujuh puluh orang diantara ahlus shuffah, tidak seorang pun dari mereka yang memakai kain yang menutupi bahagian atas tubuh mereka, mereka hanya memakai kain atau sarung yang mereka ikatkan ke leher. Diantara kain yang dipakainya itu, ada yang menutupi hanya separuh betis dan ada yang menutupnya sampai kedua matakaki, juga ada diantara mereka yang memegang kain dengan tangannya kerana khuatir nampak terbuka auratnya.” (H.R. Al-Bukhari dalam Fathul Bâri I/694 no.442)
Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu adalah orang yang dipercaya sebagai penanggung jawab orang-orang yang tinggal di Shuffah, baik yang menetap dalam jangka waktu yang lama ataupun yang sekedar singgah saja.
Penghuni shuffah ini tidak hanya terdiri dari kaum Muhâjirîn ataupun para utusan saja. Sebagian Sahabat dari kalangan Anshâr juga menghuninya. Kendatipun kaum Anshar telah memiliki rumah di Madinah dan memiliki harta yang cukup, tapi kemauan untuk hidup zuhud menjadi alasan memilih tinggal di Shuffah. Diantaranya, Ka’ab bin Mâlik al Anshâri Radhiyallahu anhu, Hanzhalah bin Abi ‘Amir Radhiyallahu ‘anhu, dan Hâritsah bin Nu’mân Radhiyallahu anhu.
Penyusun Kitab al-Hilyah, Abu Nu’aim menyebutkan nama-nama Ahlus Suffah satu persatu. Diantaranya adalah Abu Hurairah, Abu Dzaarr al-Ghifâri, Wâtsilah bin Asqa’, Salmân al-Fârisi g dan lain sebagainya.
Para penghuni Shuffah ini mengfokuskan diri untuk belajar, beri’tikaf di masjid dalam rangka beribadah dan sudah terbiasa dengan hidup kekurangan, senantiasa melaksanakan shalat, membaca al-Qur‘ân, mempelajari ayat-ayatnya, berdzikir dan belajar baca tulis. Sampai ada seorang ahlus suffah yang menghadiahkan busur panahnya kepada ‘Ubâdah bin Shâmit Radhiyallahu ‘anhu karena beliau Radhiyallahu ‘anhu berjasa mengajarkan al-Qur‘ân dan menulis kepadanya. Disebabkan oleh konsentrasi penuh pada ahlus suffah dalam belajar agama, maka tidak heran kalau kemudian lahir orang-orang yang menonjol keilmuannya dari penghuni Suffah ini, sebut saja salah satunya adalah Abu Hurairah ra sendiri, yaitu seorang Sahabat yang terkenal dengan hafalan hadits yang sangat banyak.
Namun demikian bukan berarti Para Ahlus Suffah sibuk belajar lalu tidak peduli dengan kegiatan kemasyarakatan dan tidak memiliki andil dalam jihad. Terbukti, sebagian gugur dalam perang Badr, seperti Shafwân bin Baidha’, Khubaib bin Yasâf, Sâlim bin ‘Umair dan Hâritsah bin Nu’mân al-Anshâri Radhiyallahu ‘anhu. Sebagian juga gugur di medan perang Uhud yaitu Khanzhalah Radhiyallahu ‘anhu, atau menghadiri peristiwa Hudaibiyah, perang Khaibar, perang Tâbuk dan perang Yamâmah. Begitulah para penghuni Shuffah, yang sangat perhatian terhadap ilmu dan ibadah. Di malam hari tekun beribadah dan di siang hari menjadi pejuang gagah berani.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat perhatian terhadap penghuni Suffah. Seringkali, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sering mengunjungi mereka, menanyakan kondisi mereka, mengarahkan, duduk-duduk bersama, mengarahkan mereka agar banyak membaca al-Qur‘ân, memotivasi mereka agar memandang dunia itu remeh dan tidak berharap untuk merengkuhnya. Jika ada yang mengirimkan sedekah kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas mengirim seluruhnya kepada mereka. Kalau hadiah yang beliau terima, sebagiannya beliau kirimkan dan sisanya beliau ambil buat keperluan pribadi atau hadiah tersebut dinikmati bersama Ahlus Suffah.[HR. Bukhari]
Ketika putri beliau, Fâthimah Radhiyallahu ‘anha melahirkan Hasan Radhiyallahu ‘anhu, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruhnya bersedekah untuk penghuni Shuffah dengan perak seberat rambut Hasan yang dicukur [HR. Al-Baihaqi].
Dalam riwayat Imam Ahmad rahimahullah, diceritakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih mengutamakan penghuni Shuffah ketimbang keluarga beliau sendiri yaitu Fâthimah Radhiyallahu ‘anhuma (HR. Ahmad)
Maka jelas bahwa Kaum/ Ahli Sufi dengan maksud Ahlus Suffah ini sudah ada pada zaman Nabi saw dan termasuk dari kalangan sahabat Nabi saw, kaum yang mencintai Nabi saw lebih daripada dunia dan se isinya dan kaum sufi ini dicintai oleh Nabi saw seperti dijelaskan dalam hadits-hadits shahih di atas




0 komentar:

Posting Komentar