Sebelum kembali ke Jakarta pasca liputan kunjungan PBNU ke lokasi
gempa di Pidie Jaya, Aceh pertengahan Desember lalu, saya diajak
Direktur Penyaluran NU Care-Lazisnu, Slamet Tuharie Ng menyelesaikan
beberapa urusan. Termasuk menemui beberapa teman semasa kuliah di
Purwokerto dan Jakarta. Para ‘teman seperjuangan’ Mas Slamet yang kini
berkegiatan di Banda Aceh.
Usai dengan urusan itu, kami memanfaatkan waktu untuk berziarah ke makam Syeikh Abdul Rauf As-Singkili.
Maka pada Kamis 15 Desember 2016 lepas tengah hari, kami meminta Mas
Riyan—sopir yang juga mengawal kami selama beberapa hari
sebelumnya—melajukan mobil sewaan ke Desa Deyah Raya, Kecamatan Kuala.
Jaraknya sekitar 15 kilometer dari Kota Banda Aceh.
Sebelum
menuju ke desa tersebut, kami menanyai beberapa orang di mana letak
makam Syeikh Abdul Rauf As-Singkili. Hal ini amat penting, karena Mas
Riyan, walaupun sudah menetap di Banda Aceh tak lama setelah peristiwa
tsunami 2004, bukanlah berasal dari kota ini. Pria keturunan Jawa dan
Medan ini, aslinya lahir di Medan, Sumatera Utara.
Namun, sama
dengan Mas Riyan, orang-orang yang kami tanyai, yang umumnya anak muda,
tidak tahu di mana makam Syekh Abdul Rauf As-Singkili. Bagi kami ini
agak mengherankan, tersebab Syekh Abdul Rauf As-Singkili adalah seorang
ulama tersohor yang punya peran penting dalam penyebaran ajaran Islam di
Sumatera khususnya, dan Nusantara pada umumnya.
Ketika kami
mengganti pertanyaan dengan “Di mana makam Syiah Kuala?” barulah kami
mendapatkan titik terang. Kali ini hampir semua dari mereka yang kami
tanyai menjawab tahu. Di Aceh, Syiah Abdul Rauf As-Singkili memang lebih
terkenal dengan nama Syiah Kuala. Istilah ‘Syiah’ sama maknanya dengan
‘Syekh’.
Menempuh perjalanan sekira setengah jam dari Kota Banda
Aceh, kami pun tiba di komplek makam Syiah Kuala. Di sebelah kanan dari
pintu masuk menuju makam, tampak hamparan laut. Letak makam Syiah Kuala
memang hanya sekitar 200 meter dari laut.
Siang itu, kecuali
kami, telah banyak peziarah lain yang datang. Umumnya peziarah datang
bersama rombongan-rombongan yang terdiri dari belasan hingga puluhan
orang. Ada juga peziarah yang hanya satu keluarga.
Tiba di
komplek makam, kami lebih dulu menuju musala untuk menunaikan salat
zuhur. Ziarah kami kali ini terasa berbeda, karena begitu memasuki ruang
tamu, kami langsung bertemu dan disambut Tengku Abdul Wahid, generasi
ketujuh Syiah Kuala.
Kepada kami, Tengku Abdul Wahid menjelaskan sejarah dan riwayat Syekh Abdul Rauf As-Singkili.
Syiah Kuala memiliki nama panjang Syekh Abdul Rauf bin Ali Al-Fansuri
As-Singkili. Ada pun Kuala, mengacu pada nama kampung tempat Syekh
Abdul-Rauf tinggal semasa hidupnya hingga dimakamkan.
Syekh Abdul
Rauf As-Singkili adalah seorang ulama besar Aceh. Ia lahir pada tahun
1001 Hijriah atau 1591 Masehi. Ia wafat pada hari Senin 22 Syawal tahun
1693 M.
Syekh Abdul Rauf mendirikan dayah-dayah yang digunakan sebagai tempat mengajarkan ajaran Islam.
Kitab-kitab Karya Syekh Kuala
Syekh Kuala dikenal menulis banyak kitab seperti Mir'at al-Thullab fî
Tasyil Mawa'iz al-Badî'rifat al-Ahkâm al-Syar'iyyah li Malik al-Wahhab.
Kemudian, Tarjuman al-Mustafid yang merupakan naskah pertama berbahasa
Melayu yang lengkap dari tafsir Al-Quran.
Selain itu ada juga
kitab Mawa'iz al-Badî', Tanbih al-Masyi, Kifayat al-Muhtajin ilâ Masyrah
al-Muwahhidin al-Qâilin bi Wahdatil Wujud, dan kitab Daqâiq al-Hurf.
Sayangnya, ketika tsunami melanda Aceh pada 2004 lalu, banyak sekali
kitab-kitab karya Syeikh Abdul Rauf yang tersimpan di tempat itu yang
tak terselamatkan.
“Itu yang sangat kami sayangkan,” ujar Tengku Abdul Wahab.
Makam yang terselamatkan
Menurut Tengku Abdul Wahid, dahulu jarak makam ke bibir pantai sekitar 1
kilometer. Akibat musibah tsunami yang melanda Aceh tahun 2004 silam,
menyebabkan tanah-tanah di sekitar makam tergerus. Hal itu menjadikan
jarak makam dan bibir pantai semakin dekat.
“Sekarang jarak makam dengan pantai tidak lebih dari 200 meter,” kata Tengku Abdul Wahid.
Ajaibnya, pada kejadian tsunami tersebut, tidak menyebabkan pusara
Syeikh Abdul Rauf hanyut. Padahal makam di sekitarnya mengalami
kerusakan yang tergolong berat.
Tengku Abdul Wahid juga
memberitahu kami, para peziarah ke makam Syekh Kuala tidak hanya dari
Indonesia. Warga Malaysia dan Brunei Darussalam, juga banyak yang
berziarah ke makam tersebut. (Kendi Setiawan)
Biografi Nama
lengkap Abdul Rauf Al-Singkili adalah Amin al-Din Abdul Rauf ibn Ali
al-Jawi al-Fansuri As-Singkili. Dia diperkirakan lahir di Singkel,
Kabupaten Aceh Selatan pada 1620 M. Ayahnya seorang guru dan mubalig
yang bernama Ali berasal dari Persia atau Arabia yang datang dan menetap
di Singkil, Aceh, pada akhir abad ke-13. Sesuai dengan gelaran
al-Fansuri, ibu Abdul Rauf berasal dari Desa Fansur Barus. Sedangkan
gelaran al-Singkili karena dia lahir di daerah Singkel, Aceh. Pada masa
mudanya, ia mula-mula belajar agama Islam pada ayahnya sendiri. Mengenai
latar belakang pendidikannya, Abdul Rauf telah mempunyai dasar agama
yang cukup kuat. Barulah sekitar tahun 1642 beliau merantau ke tanah
Arab. Kepergiannya dikarenakan adanya kontroversi dan pertikaian antara
Hamzah Fansuri dan Syamsuddin Sumatrani dengan Nurudin ar Raniri dan
para pengikutnya. Dengan alasan ini mungkin sekali Abdul Rauf mengetahui
semua permasalahan yang mengakibatkan terjadinya pembakaran karya-karya
Hamzah Fansuri. Akan tetapi, ada pendapat lain yang mengatakan bahwa
kepergiannya ke tanah Arab untuk menunaikan ibadah haji. Selama di tanah
Arab, Abdul Rauf belajar kepada sejumlah guru, ulama, dan tokoh mistik
ternama di Jeddah, Makkah, Madinah, Mokha, Bait al Faqih, dan
tempat-tempat lain. Sebagai orang yang bisa dikatakan paling berpengaruh
pada diri Abdul Rauf adalah Syeikh Shafiuddin Ahmad Al-Dajjani Al
Qusyasyi, yakni guru spiritualnya di Madinah. Darinya Abdul Rauf
mendapat ijazah dan khirqah untuk menjadi khalifah dalam Thariqat
Syaththariyyah dan Qadiriyyah. Abdul Rauf bukanlah sekadar ulama
tasawuf, tapi juga ahli ilmu-ilmu lahir seperti tafsir, fiqih, dan
hadits. Perpaduan dua bidang ilmu tersebut sangat memengaruhi sikap
keilmuan Abdul Rauf, yang sangat menekankan perpaduan antara syariat
dengan tasawuf. Ia diperkirakan kembali ke Aceh sekitar tahun 1083
H/1662 M dan mengajarkan serta mengembangkan tarekat Syattariah yang
diperolehnya. Murid yang berguru kepadanya banyak dan berasal dari Aceh
serta wilayah Nusantara lainnya. Beberapa yang menjadi ulama terkenal
ialah Syekh Burhanuddin Ulakan (dari Pariaman, Sumatera Barat) dan Syekh
Abdul Muhyi Pamijahan (dari Tasikmalaya, Jawa Barat). Karena pola
pemikiran Abdul Rauf menarik hati Sultanah Safiyyatudin yang saat itu
memerintah Kesultanan Aceh, Abdul Rauf akhirnya diangkat sebagai Qadi
Malik al ‘Addil yang bertanggung jawab atas administrasi masalah-masalah
keagamaan. Abdul Rauf wafat pada tahun 1693 dan dimakamkan di dekat
Kuala Sungai Aceh. Oleh karena itu, beliau mendapat sebutan Teungku di
Kuala. Kini, namanya diabadikan menjadi nama sebuah perguruan tinggi di
Aceh, yaitu Universitas Syaikh Kuala. Karya Abdul Rauf al-Singkili:
Berikut adalah sebagian karya Abdul Rauf yang dapat kami sajikan dari
berbagai sumber: Turjuman al-Mustafid (terjemah pemberi faedah),
merupakan kitab tafsir pertama dalam bahasa melayu, kitab ini ditulis
oleh Abdul Rauf sekembalinya dari negeri Arab. Mir’atuttullab fi tashil
ma’rifat al-Ahkam asy-Syariat li al-Malik al-Wahhab, kitab fiqih yang
ditulis olehnya atas permintaan Sulthanah Tajul Alam Safiyatuddin Syah.
Kitab ini berisi kajian tentang muamalat. Di dalam kitab ini, ada kajian
beliau yang membolehkan perempuan sebagai qadhi dan pemimpin. Al
faraidh, risalah tentang hukum kewarisan dalam Islam. Hidayah
al-Balighah, kitab fiqh yang isimya mengenai pembuktian dalam peradilan,
kesaksian, dan sumpah. ’Umdat al Muhtajin ila suluk maslak al-Mufridin,
kitab tasawuf yang isinya terdiri atas tujuh bab. Di akhir kitab ini
Abdul Rauf menguraikan silsilah tarekat Syattariyah sampai kepada Nabi
Muhammad SAW. Kifayatul Muhtajin ila masyrah al-Muwahhidin al Qailin bi
Wahdat al-Wujud, berisi mengenai ilmu tasawuf. Daqaiqul Huruf, yang
isinya terhadap beberapa bait syair Ibn Arabi. Bayan Tajalli, kitab ini
berisi tentang penjelasan Abdul Rauf tentang zikir yang yang utama
dibaca ketika sakaratul maut. Tambihul Masyi Manshub ila Thariqi
al-Qushasi, isinya mencerminkan perjalanan tasawuf Abdul Rauf dengan
gurunya Ahmad Qushasi. Attariqat as-Syattariyah, berisi tentang pokok
ajaran Syattariyah. Mawaizil Badiah, berisi tiga puluh dua hadits
beserta syarahnya yang berhubungan dengan tauhid, akhlaq, ibadat dan
tasawuf. Penjelasan tentang Matan al-Arba’in an-Nawawi. Bayan al-Arkan,
pedoman dalam melaksanakan ibadah. Risalah adab Murid dengan Ulama.
Risalah Mukhtasar fi Bayan Syurut as-Syeh wa al-Murid, yang berisi
tentang kewajiban-kewajiban murid terhadap guru mereka terutama dalam
metode zikir dalam tarekat Syattariyah. Syams al-Makrifat, berisi
tentang uraian tasawuf dan ilmu ma’rifat yang beliau ambil dari Ahmad
Qushasi. Majmu’ Masail, berisi tasawuf terutama uraian menyangkut
kehidupan beragama. Bayan al-Aghmadal Masail wa Sifat al-Wajibat li Rabb
al-Ard wa as-Samawati, isinya tentang al-Akyan as-Sabithah. Lubb
al-Kasy wa al-Bayan lima yarahu al-Muqtadar bi al-Iyan, isinya tentang
sakaratul maut. Sullam al-Mustafidhin, penjelasan tentang nazam-nazam
yang dikarang oleh gurunya al Qushasi. Pernyataan tentang zikir yang
paling utama pada saat sakaratul maut, yaitu la ilaa ha illa Allah.
Pemikiran Abdul Rauf al-Singkili: Aliran Tasawuf yang dikembangkan oleh
Syeh Abdul Rauf sepulangnya dari negeri Arab dalam perkembangannya di
Indonesia menghadapi dua kutub aliran tasawuf yang berbeda sebagai
warisan ulama terdahulu Hamzah Fansuri, Syamsuddin al-Sumatrani, dan
Nuruddin ar-Raniri, dalam kondisi demikian tarekat Syattariah menjadi
”penyejuk” bagi perbedaan yang tajam antara dua aliran wahdatul wujud
dan syuhuduyah tersebut. Pendekatan yang dilakukan oleh Abdul Rauf
adalah mendamaikan antara paham-paham yang bertentangan, hal itu sejalan
dengan kecenderungan jaringan ulama abad ke-17 M yang berupaya saling
mendekatkan antara ulama yang berorientasi pada syariat dengan para sufi
yang berorientasi pada makrifat. Diskursus rekonsiliasi antara tasawuf
dan syariat. Dari ini ajaran tasawufnya mirip dengan Syamsuddin
al-Sumatrani dan Nuruddin al-Raniri, yaitu menganut paham satu-satunya
wujud hakiki, yakni Allah. Sedangkan alam ciptaan-Nya bukanlah merupakan
Wujud hakiki, tetapi bayangan dari yang hakiki. Menurutnya jelaslah
bahwa Allah berbeda dengan alam. Abdul Rauf menpunyai pemikiran tentang
zikir. Zikir, dalam pandangan Abdul Rauf, merupakan suatu usaha untuk
melepaskan diri dari sifat lalai dan lupa. Dengan zikir inilah hati
selalu mengingat Allah. Tujuan zikir ialah mencapai fana’ (tidak ada
wujud selain wujud Allah), berarti wujud hati yang berzikir dekat dengan
wujud-Nya. Ajaran tasawuf Abdul Rauf yang lain adalah bertalian dengan
martabat perwujudan. Menurutnya, ada tiga martabat perwujudan: pertama
martabat ahadiyyah atau la ta’ayyun, yang mana alam pada waktu itu masih
merupakan hakikat ghaib yang masih berada di dalam ilmu Tuhan. Kedua,
martabat wahdah atau ta’ayyun awwal, yang mana sudah tercipta haqiqat
Muhammadiyyah yang potensial bagi terciptanya alam. Ketiga, martabat
wahdiyyah atau ta’ayyun tsani, yang disebut juga dengan a’ayyan
al-tsabitah dan dari sinilah alam tercipta. Menurutnya, tingkatan itulah
yang dimaksud Ibn’ Arabi dalam sya’ir-sya’nya. Rekonsiliasi syariah dan
tasawuf yang dikembangkan oleh Abdul Rauf dapat diamati dari tiga pilar
corak pemikirannya dalam bidang tasawuf, ketiga pokok pemikiran
tersebut adalah ketuhanan dan hubungan dengan alam, insan kamil, dan
jalan menuju Tuhan (tariqat). a) Ketuhanan dan hubungannya dengan alam,
Syeh Abdurrauf menganut paham satu-satunya yang wujud hakiki adalah
Allah, Alam ciptaannya adalah wujud bayangan-Nya yakni bayangan dari
wujud hakiki. b) Insan kamil adalah sosok manusia ideal. Abdul Rauf
memahami insan kamil sebagai kombinasi dari paham al-Ghazali, al-Hallaj
dan paham martabat tujuh yang telah ditulis oleh Syeh Abdullah
al-Burhanpuri dalam kitab Tuhfah almursalah ila ruhin nabi. c) Thariqat
(jalan kepada Allah), kecendrungan rekonsiliasi yang dilakukan oleh Syeh
Abdurrauf sangat kentara sekali ketika ia menjelaskan tauhid dan zikir
sejalan dengan kepatuhan total pada syariat. Abdul Rauf berpendapat
bahwa dzikir penting bagi orang yang menempuh jalan tasawuf, di mana
dasar dari tasawuf adalah dzikir yang berfungsi mendisiplinkan
kerohanian Islam. Dalam berdzikir ada dua metode yang diajarkannya,
yaitu dzikir keras dan dzikir pelan. Dzikir keras seperti pengucapan "La
ilaha illa Allah" sebagai penegasan akan keesaan Sang Pencipta. Dzikir
menurut dia bukanlah membayangkan kehadiran gambar Tuhan melainkan
melatih untuk memusatkan diri. Di samping itu, Abdul Rauf berpandangan
bahwa tauhid menjadi pusat dari ajaran tasawuf. Pandangan-pandangan
dasar Abdul Rauf tentang tasawuf ini tertera dalam kitab Tanbih
Al-Masyi. La ilaha illa Allah menurut dia, memiliki empat tingkatan
tauhid: penegasan, pengesahan ketuhanan Allah, mengesahkan sifat Allah
dan mengesahkan dzat Tuhan.
Saat Makam Syekh Kuala Selamat dari Terjangan Tsunami
on Sabtu, 17 Februari 2018
Label:
Artikel Islami
0 komentar:
Posting Komentar