HUKUM MARAH

Hukum marah itu bisa terbagi
kepada 5(lima). Yaitu,
1. Wajib
Marah bisa masuk menjadi wajib
manakala kita melihat kemungkaran
yang terjadi di depan kita. Ketika
suatu kesalahan, kemaksiatan atau
kemungkaran terjadi maka sesuai
dengan hadist Rasulullah Saw.
"Apabila kalian melihat
kemungkaran maka rubahlah
dengan tangan/kekuasaannya,
apabila tidak mampu maka
hendaklah merubah dengan ucapan
atau lisan(nasehat), apabila tidak
mampu, maka rubahlah dengan hati.
Dan yang terakhir inilah wujud
selemah-lemahnya
iman." (HR.Muslim)
Makna hadist tersebut diatas adalah
bahwa kemarahan yang
dimaksudkan disini adalah
kemarahan yang dilandasi karena
ketaatan kepada Allah Swt. dan
kepada RasulNya. Marah dalam
hukumnya yang pertama ini juga
adalah marah yang tata caranya
sesuai dengan apa yang pernah
dicontohkan oleh Rasulullah Saw..
2. Sunnah
Sunnah itu adalah akan berpahala
apabila dilakukan dan tidak berdosa
manakala tidak dilakukan. Contoh
marah yang hukumnya masuk
kedalam sunnah adalah ketika
Rasulullah Saw. memperoleh kabar
bahwasanya salah seorang sahabat
memanjangkan bacaan suratnya
ketika shalat. Hal ini membuat
Rasulullah Saw. marah dan
kemarahannya terlihat jelas diroman
wajahnya, seraya beliau berkata,
"Sesungguhnya kalian membuat
orang melarikan diri dari kita, dan
membuat orang menghindar dari
Islam! Barangsiapa yang menjadi
imam(shalat) hendaknya ia
meringankan bacaannya dan tidak
memanjangkannya!" (HR.Bukhari).
Marah dalam urusan seperti ini
hukumnya terkategori kedalam
sunnah. Apabila kita memilih untuk
berdiam diri, maka kita tak berdosa.
Karena Rasulullah Saw. marah
dalam hadist ini bukan dalam hal
yang haram, melainkan dalam hal
yang makruh. Karena seorang imam
shalat memanjangkan suratnya
ketika shalat, perbuatannya itu
terkategori sebagai hal yang
makruh. Kecuali hal tersebut jika
dikehendaki oleh makmum. Jika ia
memanjangkan bacaannya dan itu
tidak disukai oleh makmum, maka
hukumnya tidak haram melainkan
hanya makruh saja. Oleh karenanya
marah dalam hal seperti ini
hukumnya adalah sunnah, tidak
wajib. Karena marah yang
hukumnya wajib adalah marah pada
urusan yang wajib diingkari, yaitu
seperti kemungkaran dan
kemaksiatan terhadap Allah Swt..
3. Mubah
Mubah adalah ketika dilakukan dan
ditinggalkan tidak mendapat pahala.
Ada marah yang hukumnya
terkategori kepada mubah. Dalilnya
adalah ketika Abu Bakar Ash
Shiddiq RA. marah kepada
puteranya yaitu Abdurrahman yang
telah diperintahkan untuk
menyuguhi tamu namun ternyata
tamunya tak mau makan kecuali
setelah Abu Bakar Ash Shiddiq RA.
hadir bersama mereka. Kisah ini
diriwayatkan oleh Bukhari didalam
shahihnya.
Ketika Abu Bakar Ash Shiddiq RA.
pulang maka ia pun marah kepada
Abdurrahman kenapa tamunya
belum makan. Abu Bakar RA. pun
marah karena Abdurrahman sempat
bersembunyi darinya karena takut
dimarahi. Kemudian, 'Abdurrahman
berkata kepada ayahnya,
"Tanyakanlah kepada para tamu
itu."Abu Bakar RA. ketika itu marah
dan bersumpah tidak akan makan
malam itu.
Akan tetapi, para tamu pun berkata
bahwasanya mereka tidak mau
makan sebelum Abu Bakar pun
makan. Abu Bakar kesal dan marah
kepada anak, isteri dan juga pada
tamunya. Namun, beliau kemudian
tersadar bahwasanya perbuatannya
itu adalah hasutan syaitan. Seketika
itu juga Abu Bakar RA. berdzikir dan
berdo'a kepada Allah Swt. supaya
kemarahannya itu reda.
Maksud dari kisah ini adalah Abu
Bakar Ash Shiddiq RA. sangat
kecewa karena telah membuat
tamunya menunggu dirinya sampai
larut malam dan dalam keadaan
yang belum makan karena
menunggunya. Beliau kemudian
marah dan marahnya dalam hal
seperti ini boleh-boleh saja, tidak
dosa dan tidak berpahala.
Terkecuali jika beliau marahnya
hingga melontarkan ucapan-ucapan
cacian, maka marahnya itu akan
jatuh pada haram.
4. Makruh
Makruh adalah jika dilakukan tidak
mendapat pahala, namun jika
dilakukan tidak mendapatkan
pahala, namun jika tidak dilakukan
mendapat pahala. Marah yang
hukumnya jatuh kepada makruh
adalah dalam hal ini contohnya
adalah ketika Sa'ad bin Ubadah RA.
berkata, "Wahai Rasulullah, jika aku
melihat seorang laki-laki sedang
bersama dengan istriku, aku tidak
boleh mengapa-apakannya sampai
aku mendatangkan empat orang
saksi?" Rasulullah menjawab, "Ya!"
Lalu, Sa'ad berkata, "Tidak. Demi
Dzat yang telah mengutusmu
dengan benar. Aku akan langsung
mendahuluinya dengan pedang
sebelum itu!" Kemudian, Rasulullah
Saw. bersabda kepada sahabat-
sahabatnya yang lain,
"Dengarkanlah apa yang dikatakan
pemimpin kalian, dia sangat
pencemburu. Sungguh aku lebih
pencemburu darinya, dan Allah
lebih pencemburu dari
aku." (HR.Bukhari)
Marah sebagaimana yang
ditunjukkan oleh Sa'ad bin Ubadah
ini hukumnya makruh. Karena
kemarahannya menyimpang dari
syariah. Dan, jika ia betul-betul
melakukannya, yaitu membunuh
pria yang bersama(berzina) dengan
istrinya, maka haram hukumnya
karena itu berarti ia telah mengadili
tanpa hakim. Namun, karena
ucapannya itu adalah perandaian
dan tidak dia perbuat, maka
hukumnya menjadi makruh. Dalam
hadist tersebut diatas Rasulullah
Saw. segera membelokkan
pembahasan tentang Sa'ad kepada
penjelasan bahwa beliau lebih
pencemburu dari Sa'ad, dan Allah
lebih pencemburu dari beliau,
dalam hal ini lebih tidak suka
melihat umatnya yang bermaksiat.
5. Haram
Haram adalah jika diperbuat
mendapat dosa, sedangkan jika
tidak diperbuat tak mendapat
pahala. Marah yang hukumnya
jatuh pada haram adalah marah
yang diiringi dengan mencaci maki
dan melontarkan kata-kata keji.
Rasulullah Saw. bersabda, "Mencaci
orang muslim adalah fasiq, dan
memeranginya adalah kufur.
"( HR.Bukhari)
Sumber : Buku Kiat Mengendalikan
Amarah

0 komentar:

Posting Komentar