Merupakan kewajiban bagi setiap muslim untuk senantiasa bertakwa
kepada Allah dengan melaksanakan segala perintah-Nya dan menjauhi segala
larangan-Nya berdasarkan bimbingan Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Di
antara larangan Allah ialah melakukan kezhaliman kepada sesama manusia
dengan mengambil harta benda mereka tanpa hak, seperti mencuri, korupsi,
memakan harta riba, mewajibkan bayar pajak bagi seluruh masyarakat
terutama kaum muslimin, dan lain sebagainya.
Oleh karenanya,
dalam edisi kali ini kami akan menjelaskan tentang hukum pajak menurut
pandangan Islam, bagaimana kaum muslimin menyikapinya, dan syarat-syarat
dibolehkannya pemungutan pajak. Mudah-mudahan pembahasan ini
bermanfaat.
A. DEFINISI PAJAK
Dalam istilah bahasa Arab,
pajak dikenal dengan nama Adh-Dharibah atau bisa juga disebut Al-Maks,
yang artinya adalah ; “Pungutan yang ditarik dari rakyat oleh para
penarik pajak.” (Lihat Lisanul Arab IX/217-218 dan XIII/160, dan Shahih
Muslim dengan syarahnya oleh Imam Nawawi XI/202).
Menurut imam
al-Ghazali dan imam al-Juwaini, pajak ialah apa yang diwajibkan oleh
penguasa (pemerintahan muslim) kepada orang-orang kaya dengan menarik
dari mereka apa yang dipandang dapat mencukupi (kebutuhan Negara dan
masyarakat secara umum, pent) ketika tidak ada kas di dalam baitul mal.”
(Lihat Syifa’ul Ghalil hal.234, dan Ghiyats al-Umam Min Iltiyats
Azh-Zhulmi hal.275).
Adapun pajak menurut istilah kontemporer
adalah iuran rakyat kepada kas negara (pemerintah) berdasarkan
undang-undang -sehingga dapat dipaksakan- dengan tiada mendapat balas
jasa secara langsung. Pajak dipungut penguasa berdasarkan norma-norma
hukum untuk menutup biaya produksi barang-barang dan jasa kolektif untuk
mencapai kesejahteraan umum.
Di sana ada istilah-istilah lain yang mirip dengan pajak atau adh-Dharibah diantaranya adalah :
a. al-Jizyah (upeti yang harus dibayarkan ahli kitab kepada pemerintahan Islam)
b. al-Kharaj (pajak bumi yang dimiliki oleh negara Islam)
c. al-‘Usyur (bea cukai bagi para pedagang non muslim yang masuk ke negara Islam)
B. BEBERAPA JENIS PAJAK DI ZAMAN SEKARANG:
Di zaman sekarang terdapat beberapa macam pajak yang sering kita jumpai, diantaranya ialah:
– Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), yaitu pajak yang dikenakan terhapad tanah dan lahan dan bangunan yang dimiliki seseorang.
– Pajak Penghasilan (PPh), yaitu pajak yang dikenakan sehubungan dengan penghasilan seseorang.
– Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
– Pajak Barang dan Jasa
– Pajak Penjualan Barang Mewam (PPnBM)
– Pajak Perseroan, yaitu pajak yang dikenakan terhadap setiap perseroan (kongsi) atau badan lain semisalnya.
– Pajak Transit/Peron dan lain sebagainya.
C. HUKUM PAJAK DALAM FIQIH ISLAM:
Berdasarkan istilah-istilah di atas (al-Jizyah, al-Kharaj, dan
al-‘Usyur), kita dapatkan bahwa pajak sebenarnya diwajibkan bagi
orang-orang non muslim kepada pemerintahan Islam sebagai bayaran jaminan
keamanan. Maka ketika pajak tersebut diwajibkan kepada kaum muslimin,
para ulama dari zaman sahabat, tabi’in hingga sekarang berbeda pendapat
di dalam menyikapinya.
Pendapat Pertama: Menyatakan bahwa pajak
tidak boleh sama sekali dibebankan kepada kaum muslimin, karena kaum
muslimin sudah dibebani kewajiban zakat. Di antara dalil-dalil syar’i
yang melandasi pendapat ini adalah sebagaimana berikut:
1) Firman Allah Ta’ala:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لاَ تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan cara yang batil….”. (QS. An-Nisa’: 29).
Dalam ayat ini Allah melarang hamba-Nya saling memakan harta sesamanya
dengan jalan yang tidak dibenarkan. Dan pajak adalah salah satu jalan
yang batil untuk memakan harta sesamanya.
2) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
أَلاَ لاَ تَظْلِمُوا ، أَلاَ لاَ تَظْلِمُوا ، أَلاَ لاَ تَظْلِمُوا ،
إِنَّهُ لاَ يَحِلُّ مَالُ امْرِئٍ إِلاَّ بِطِيبِ نَفْسٍ مِنْهُ
“Janganlah kalian berbuat zhalim (beliau mengucapkannya tiga kali,
pent). Sesungguhnya tidak halal harta seseorang muslim kecuali dengan
kerelaan dari pemiliknya.” (HR. Imam Ahmad V/72 no.20714, dan
di-shahih-kan oleh Al-Albani dalam Shahih wa Dha’if Jami’ush Shagir
no.7662, dan dalam Irwa’al Ghalil no.1761 dan 1459)
3) Hadits
yang diriwayatkan dari Fathimah binti Qais radhiyallahu ‘anha, bahwa dia
mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لَيْسَ فِي الْمَالِ حَقٌّ سِوَى الزَّكَاةِ
“Tidak ada kewajiban dalam harta kecuali zakat. ” (HR Ibnu Majah I/570
no.1789. Hadits ini dinilai dho’if (lemah) oleh syaikh Al-Albani karena
di dalam sanadnya ada perawi yang bernama Abu Hamzah (Maimun), menurut
imam Ahmad bin Hanbal dia adalah dha’if hadistnya, dan menurut Imam
Bukhari, ‘dia tidak cerdas’).
Mereka mengatakan bahwa dalil-dalil
syar’i yang menetapkan adanya hak wajib pada harta selain zakat
hanyalah bersifat anjuran (bukan kewajiban yang harus dilaksanakan),
seperti hak tamu atas tuan rumah. Mereka juga mengatakan bahwa hak-hak
tersebut hukumnya wajib sebelum disyariatkan kewajiban zakat, namun
setelah zakat diwajibkan, maka hak-hak wajib tersebut menjadi mansukh
(dihapuskan/dirubah hukumnya dari wajib menjadi sunnah).
4)
Hadits Buraidah radhiyallahu ‘anhu dalam kisah seorang wanita Ghamidiyah
yang berzina, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda tentangnya:
فَوَالَّذِى نَفْسِى بِيَدِهِ لَقَدْ تَابَتْ تَوْبَةً لَوْ تَابَهَا صَاحِبُ مَكْسٍ لَغُفِرَ لَهُ
“Demi dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sesungguhnya perempuan itu
telah benar-benar bertaubat, sekiranya seorang pemungut pajak bertaubat
sebagaimana taubatnya wanita itu, niscaya dosanya akan diampuni.” (HR.
Muslim III/1321 no: 1695, dan Abu Daud II/557 no.4442. dan di-shahih-kan
oleh syaikh Al-Albani dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah hal.
715-716)
Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan bahwa dalam hadits
ini terdapat beberapa pelajaran dan hikmah yang agung diantaranya ialah,
“Bahwasanya pajak termasuk seburuk-buruk kemaksiatan dan termasuk dosa
yang membinasakan (pelakunya), hal ini lantaran dia akan dituntut oleh
manusia dengan tuntutan yang banyak sekali di akhirat kelak.” (Lihat
Syarah Shahih Muslim XI/202 oleh Imam Nawawi).
5) Hadits Uqbah bin ‘Amir radhiyallahu ‘anhu, berkata: Saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ صَاحِبُ مَكْسٍ
“Tidak akan masuk surga orang yang mengambil pajak (secara zhalim,
pent).” (HR. Abu Daud II/147 no.2937. Hadist ini dinilai dho’if oleh
syaikh Al-Albani)
Dari beberapa dalil di atas, banyak para ulama
yang menggolongkan pajak yang dibebankan kepada kaum muslim secara
zhalim dan semena-mena, sebagai perbuatan dosa besar, seperti yang
dinyatakan Imam Ibnu Hazm di dalam Maratib al Ijma’, Imam adz-Dzahabi di
dalam bukunya Al-Kabair, Imam Ibnu Hajar al-Haitami di dalam az-
Zawajir ‘an Iqtirafi al Kabair, Syaikh Shiddiq Hasan Khan di dalam
ar-Raudah an-Nadiyah, Syaikh Syamsul al-Haq Abadi di dalam Aun al-Ma’bud
dan selainnya.
6) Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma pernah ditanya,
apakah Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu pernah menarik pajak dari
kaum muslimin. Beliau menjawab: “Tidak, aku tidak pernah mengetahuinya.”
(Lihat Syarh Ma’anil Atsar II/31)
7) Syaikh Abdul Aziz bin Baz
rahimahullah dalam kitabnya, Huquq Ar-Ra’iy war Ra’iyyah, mengatakan,
“Adapun kemungkaran seperti pemungutan pajak, maka kita mengharap agar
pemerintah meninjau ulang (kebijakan itu)”.
Pendapat Kedua:
Menyatakan bahwa pajak boleh diambil dari kaum muslimin, jika memang
negara sangat membutuhkan dana, dan untuk menerapkan kebijaksanaan
inipun harus terpenuhi dahulu beberapa syarat.
Diantara para
ulama yang membolehkan pemerintahan Islam mengambil pajak dari kaum
muslimin adalah imam al-Juwaini di dalam kitab Ghiyats al-Umam hal. 267,
Imam al-Ghazali di dalam al-Mustashfa I/426, Imam asy-Syathibi di dalam
al-I’tishom II/358, Ibnu Abidin dalam Hasyiyah Ibnu Abidin II/336-337,
dan selainnya.
Di antara dalil-dalil syar’i yang melandasi pendapat ini adalah sebagaimana berikut:
1) Firman Allah Ta’ala dalam surat Al-Baqarah ayat 177, dimana pada
ayat ini Allah mengajarkan tentang kebaikan hakiki dan agama yang benar
dengan mensejajarkan antara:
(a) Pemberian harta yang dicintai
kepada kerabat, anak-anak yatim, orang miskin, musafir, orang yang
meminta-minta dan memerdekakan hamba sahaya, dengan (b) Iman kepada
Allah, hari kemudian, malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi, mendirikan
sholat, menunaikan zakat, dan menepati janji, dan lain-lainnya.
Point-point dalam group (a) di atas, bukannya hal yang sunnah, tapi
termasuk pokok-pokok yang hukumnya fardhu, karena disejajarkan dengan
hal-hal yang fardhu, dan bukan termasuk zakat, karena zakat disebutkan
tersendiri juga.
2) Hadits-hadits shahih mengenai hak tamu atas
tuan rumah. Perintah menghormati tamu menunjukkan wajib karena perintah
itu dikaitkan dengan iman kepada Allah dan hari Kiamat, dan setelah tiga
hari dianggap sebagai sedekah.
3) Ayat Al-Quran yang mengancam
orang yang menolak memberi pertolongan kepada mereka yang memerlukan,
seperti halnya dalam surat Al-Ma’un, dimana Allah mangaggap celaka bagi
orang yang enggan menolong dengan barang yang berguna bersamaan dengan
orang yang berbuat riya’.
4) Adanya kaidah-kaidah umum hukum
syara’ yang memperbolehkan. Misalnya kaidah “Mashalih Mursalah” (atas
dasar kepentingan), atau kaidah ‘mencegah mafsadat itu lebih diutamakan
daripada mendatangkan maslahat’, atau kaidah ‘lebih memilih mudharat
yang menimpa individu atau kelompok tertentu daripada mudharat yang
menimpa manusia secara umum’.
Kas Negara yang kosong akan sangat
membahayakan kelangsungan negara, baik adanya ancaman dari luar maupun
dari dalam. Rakyat pun akan memilih kehilangan harta yang sedikit karena
pajak dibandingkan kehilangan harta keseluruhan karena negara jatuh ke
tangan musuh.
5) Adanya perintah Jihad dengan harta. Islam telah
mewajibkan ummatnya untuk berjihad dengan harta dan jiwa sebagaimana
difirmankan Allah dalam Al-Quran (QS. 9:41, 49:51, 61:11, dll). Maka
tidak diragukan lagi bahwa jihad dengan harta itu adalah kewajiban lain
di luar zakat. Di antara hak pemerintah (ulilamri) dari kaum Muslimin
adalah menentukan bagian tiap orang yang sanggup memikul beban jihad
dengan harta ini.
6) Syaikh Izzuddin memberikan fatwa kepada raja
al-Muzhaffar dalam hal mewajibkan pajak kepada rakyat dalam rangka
mempersiapkan pasukan untuk memerangi Tatar, seraya berkata:
“Apabila musuh memasuki Negeri Islam, maka wajib bagi kaum muslimin
menahan serangan mereka, dan diperbolehkan bagi kalian (para penguasa)
mengambil dari rakyat apa yang dapat menolong kalian dalam berjihad
melawan mereka, namun dengan syarat tidak ada kas sedikitpun di dalam
baitul mal, dan hendaknya kalian (penguasa dan para pejabatnya, pent)
menjual (menginfakkan) barang-barang berharga milik kalian. Setiap
tentara dicukupkan dengan kendaraan dan senjata perangnya saja, dan
mereka itu diperlakukan sama dengan rakyat pada umumnya. Adapun memungut
harta (pajak) dari rakyat padahal masih ada harta benda dan peralatan
berharga di tangan para tentara, maka itu dilarang.” (An-Nujum
Az-Zahirah fi Muluki Mishr wa Al-Qahirah, karya Abul Mahasin Yusuf bin
Taghri VII/73).
Kesimpulan Hukum Pajak dalam Fiqih Islam:
Setelah memaparkan dua pendapat para ulama di atas beserta
dalil-dalilnya, maka jalan tengah dari dua perbedaan pendapat ini adalah
bahwa tidak ada kewajiban atas harta kekayaan yang dimiliki seorang
muslim selain zakat, namun jika datang kondisi yang menuntut adanya
keperluan tambahan (darurat), maka akan ada kewajiban tambahan lain
berupa pajak (dharibah). Pendapat ini sebagaimana dikemukakan oleh
al-Qadhi Abu Bakar Ibnu al-Arabi, Imam Malik, Imam Qurtubi, Imam
asy-Syathibi, Mahmud Syaltut, dan lain-lain. (Lihat Al-Fatawa Al-Kubra,
Syaikh Mahmud Syaltut hal.116-118 cetakan Al-Azhar).
Diperbolehkannya memungut pajak menurut para ulama tersebut di atas,
alasan utamanya adalah untuk mewujudkan kemaslahatan umat, karena dana
pemerintah tidak mencukupi untuk membiayai berbagai “pengeluaran”, yang
jika pengeluaran itu tidak dibiayai, maka akan timbul kemadharatan.
Sedangkan mencegah kemudaratan adalah juga suatu kewajiban. Sebagaimana
kaidah ushul fiqh: Ma layatimmu al-wajibu illa bihi fahuwa wajibun
(Suatu kewajiban jika tidak sempurna kecuali dengan sesuatu, maka
sesuatu itu hukumnya wajib).
Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani
berkata, “Jika sekiranya seorang penguasa (pemerintahan muslim) hendak
menyiapkan sebuah pasukan perang, maka sepantasnya dia menyiapkannya
dengan harta yang diambil dari baitul mal kaum muslimin (kas Negara)
jika di dalamnya memang ada harta kekayaan yang mencukupinya, dan tidak
boleh baginya mengambil harta sedikitpun dari rakyat. Akan tetapi jika
di dalam baitul mal tidak ada harta yang mencukupi penyiapan pasukan
perang, maka dibolehkan bagi penguasa/pemerintah muslim menetapkan
kebijakan kepada mereka (orang-orang kaya agar membayar pajak, pent)
sehingga pasukan perang yang akan berjihad menjadi kuat.” (Lihat As-Sair
Al-Kabir beserta syarahnya I/139).
D. SYARAT-SYARAT PEMUNGUTAN PAJAK:
Para ulama yang membolehkan Pemerintahan Islam memungut pajak dari kaum
muslimin, meletakkan beberapa syarat yang harus dipenuhi terlebih
dahulu, diantaranya adalah sebagai berikut :
Pertama: Negara komitmen dalam penerapan syariat Islam.
Kedua: Negara sangat membutuhkan dana untuk keperluan dan maslahat
umum, seperti pembelian alat-alat perang untuk menjaga perbatasan Negara
yang sedang dirongrong oleh musuh.
Ketiga: Tidak ada sumber lain yang bisa diandalkan oleh Negara, baik dari zakat, jizyah, al ‘usyur, kecuali dari pajak.
Keempat: Harus ada persetujuan dari para ulama dan tokoh masyarakat.
Kelima: Pemungutannya harus adil, yaitu dipungut dari –orang kaya
saja-, dan tidak boleh dipungut dari orang-orang miskin. Distribusinya
juga harus adil dan merata, tidak boleh terfokus pada tempat-tempat
tertentu, apalagi yang mengandung unsur dosa dan maksiat.
Keenam:
Pajak ini sifatnya sementara dan tidak diterapkan secara terus menerus,
tetapi pada saat-saat tertentu saja, ketika Negara dalam keadaan
genting atau ada kebutuhan yang sangat mendesak saja.
Ketujuh: Harus dihilangkan dulu pendanaan yang berlebih-lebihan dan hanya menghambur-hamburkan uang saja.
Kedelapan: Besarnya pajak harus sesuai dengan kebutuhan yang mendesak
pada waktu itu saja. (Lihat syarat-syarat ini secara lengkap dalam
Abhats Fiqhiyyah Fi Qadhaya Az-Zakat Al-Mu’ashirah II/621-623)
E. APAKAH PAJAK DI ZAMAN INI SESUAI DENGAN SYARIAH ISLAM?
Apakah pajak hari ini sudah sesuai dengan syarat-syarat yang telah
ditetapkan para ulama di atas? maka jawabannya adalah tidak sesuai, hal
itu dikarenakan beberapa sebab:
1. Negara belum komitmen untuk menerapkan syariat Islam.
2. Pajak hari ini dikenakan juga pada barang dagangan dan barang-barang
yang menjadi kebutuhan sehari-hari yang secara tidak langsung akan
membebani rakyat kecil.
3. Hasil pajak hari ini dipergunakan
untuk hal-hal yang bukan termasuk kebutuhan darurat, tetapi justru malah
digunakan untuk membiayai tempat-tempat maksiat dan rekreasi,
pengembangan budaya yang tidak sesuai dengan ajaran Islam dan
sejenisnya, bahkan yang lebih ironisnya lagi sebagian besar pajak yang
diambil dari rakyat itu hanya untuk dihambur-hamburkan saja, seperti
untuk pembiayaan pemilu, renovasi rumah, pembelian mobil mewah untuk
anggota dewan dan pejabat, dan lain-lainnya.
4. Pajak hari ini diwajibkan terus menerus secara mutlak dan tidak terbatas.
5. Pajak hari ini diwajibkan kepada rakyat, padahal zakat sendiri belum diterapkan secara serius.
6. Pajak yang diwajibkan hari ini belum dimusyawarahkan dengan para ulama dan tokoh masyarakat.
7. Pajak hari ini diwajibkan kepada rakyat kecil, padahal sumber-sumber
pendapat Negara yang lain, seperti kekayaan alam tidak diolah dengan
baik, malah diberikan kepada perusahaan asing, yang sebenarnya kalau
dikelola dengan baik, akan bisa mencukupi kebutuhan Negara dan rakyat.
Dari keterangan di atas, menjadi jelas, bahwa pajak yang diterapkan
hari ini di banyak negara-negara yang mayoritas penduduknya Islam,
termasuk di dalamnya Indonesia adalah perbuatan zhalim yang merugikan
rakyat kecil, apalagi hasilnya sebagian besar dihambur-hamburkan untuk
sesuatu yang kurang bermanfaat, atau mengandung dosa dan maksiat, dan
bahkan terbukti sebagiannya telah dikorupsi, hanya sebagian kecil yang
digunakan untuk kepentingan umum dan kesejahteraan masyarakat. Wallahu
A’lam bish-Showab.
F. BAGAIMANA SIKAP KAUM MUSLIMIN TERHADAP PAJAK?
Berdasarkan dalil-dalil syar’i dari Al-Qur’an dan As-Sunnah bahwa
setiap muslim wajib mentaati pemimpinnya selama pemimpin itu masih dalam
kategori muslim dan selama pemimpinnya tidak memerintahkan dengan suatu
kemaksiatan. Adapun jika penguasa memerintahkan rakyatnya dengan suatu
kemaksiatan maka rakyat (kaum muslimin) dilarang keras oleh Allah dan
Rasul-Nya untuk mentaatinya. Termasuk dalam hal ini adalah kewajiban
membayar pajak dengan berbagai jenisnya yang telah disebutkan di atas.
Di dalam sebuah hadits, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لاَ طَاعَةَ فِى مَعْصِيَةِ اللَّهِ إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِى الْمَعْرُوفِ
“Tidak ada ketaatan dalam melakukan kemaksiatan kepada Allah, karena
sesungguhnya kewajiban taat itu hanya dalam hal yang ma’ruf (baik)
saja.” (HR. Bukhari no.6830, dan Muslim III/1469 no.1840).
Akan
tetapi, bagaimana sikap kaum muslimin jika penguasa memaksa atau
menggunakan kekuatannya untuk memungut pajak dari mereka, bolehkah
melakukan perlawanan atau pemberontakan?
Dalam keadaan demikian
kaum muslimin tidak boleh melakukan perlawanan atau pemberontakan demi
untuk menghindari kemudharatan yang lebih besar. Dan jika harta mereka
diambil penguasa secara paksa sebagai pajak, maka berlaku bagi mereka
hukum orang yang terpaksa melakukan sesuatu yang haram dan tidak
dianggap sebagai dosa. Di dalam hadits yang shahih, Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam telah berwasiat kepada umatnya:
يَكُونُ بَعْدِى
أَئِمَّةٌ لاَ يَهْتَدُونَ بِهُدَاىَ وَلاَ يَسْتَنُّونَ بِسُنَّتِى
وَسَيَقُومُ فِيهِمْ رِجَالٌ قُلُوبُهُمْ قُلُوبُ الشَّيَاطِينِ فِى
جُثْمَانِ إِنْسٍ . قَالَ قُلْتُ كَيْفَ أَصْنَعُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنْ
أَدْرَكْتُ ذَلِكَ قَالَ تَسْمَعُ وَتُطِيعُ لِلأَمِيرِ وَإِنْ ضُرِبَ
ظَهْرُكَ وَأُخِذَ مَالُكَ فَاسْمَعْ وَأَطِعْ
“Akan datang
sesudahku para pemimpin, mereka tidak mengambil petunjukku dan juga
tidak melaksanakan tuntunanku. Dan kelak akan ada para pemimpin yang
hatinya seperti hati setan dalam jasad manusia.” Maka aku (Hudzaifah)
bertanya:
“Wahai Rasulullah, apa yang aku perbuat jika aku mendapati hal ini?”
Beliau bersabda: “Hendaklah engkau mendengar dan taat kepada pemimpinmu
walaupun punggungmu dipukul dan hartamu dirampas, tetaplah dengar dan
taat kepadanya.” (HR. Muslim III/1475 no.1847 dari Hudzaifah Ibnul Yaman
radliyallahu’anhu)
Syaikh Shalih Al-Fauzan hafidzahullah memberi
alasan yang sangat tepat dalam masalah ini. Beliau mengatakan: “Melawan
pemimpin pada saat itu lebih jelek akibatnya daripada sekedar sabar
atas kezhaliman mereka. Bersabar atas kezhaliman mereka (memukul dan
mengambil harta kita) memang suatu madharat, tetapi melawan mereka jelas
lebih besar madharatnya, seperti akan berakibat terpecahnya persatuan
kaum muslimin, dan memudahkan kaum kafir menguasai kaum muslimin (yang
sedang berpecah dan tidak bersatu).” (Lihat Al-Fatawa As-Syar’iyah Fi
Al-Qodhoya Al-Ashriyyah halaman.93)
Demikian penjelasan kami
tentang hukum pajak dalam pandangan Islam. Jika ada kesalahan dan
kekurangan maka itu datangnya dari diri kami pribadi dan setan. Dan jika
benar, maka ini datangnya dari Allah Ta’ala semata. Semoga bermanfaat
bagi kita semua. Amin.
[Sumber: Majalah PENGUSAHA MUSLIM Edisi 17 Volume 2 / Juni 2011]
HUKUM PAJAK DALAM FIQIH ISLAM, Bagaimana Kaum Muslimin Menyikapinya?
on Rabu, 31 Januari 2018
Label:
Artikel Islami
0 komentar:
Posting Komentar